TELAAH JURNAL
1.
MODEL PENDIDIKAN LUQMAN AL-HAKIM DI DALAM AL-QUR’AN
2.
TERAPI PENYAKIT HATI MENURUT IBN TAIMIYAH DALAM
PERSPEKTIF BIMBINGAN KONSELING ISLAM
3.
PROBLEMATIKA BID’AH: KAJIAN TERHADAP DALIL DAN ARGUMEN
PENDUKUNG SERTA PENOLAK ADANYA BID’AH HASANA
Tugas Mata
Kuliah Pendidikan Agama Islam
Oleh:
HARUM ISHMA SAVITRI
S-1 PETERNAKAN
23010112130093
Kelas B
FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2012
I. TEMA : PENDIDIKAN
MORAL
II. TELAAH
A. ALASAN
PEMILIHAN JUDUL
Kehidupan modern dewasa ini telah ditandai semakin
meningkatnya perkembangan IPTEK dan arus globalisasi.banyak kasus terjadi
hubungan tidak harmonis antara anggota keluarga. Berbagai persoalan tersebut
sangat erat kaitannya dengan pendidikan. Salah satu diantara manusia pilihsn,
yang ditunjuk oleh Allah dan diabadikan dalam Al-Quran dan secara spesifik
melukiskan proses pendidikan adalah penyebutan nama tokoh Luqman al-Hakim.
Luqman seorang hjamba Allah yang dianugerahi “hikmah”, memiliki aqidah yang
benar dan memahami pokok-pokok ajaran agama Allah , serta memiliki ahlaq yang
mulia. Oleh karena itu, penilitian ini diarahkan untuk mengungkap lebih lanjut tentang
keistimewaan itu, terutama arah dan model pendidikan yang dilakukan oleh Lqman
Al-Hakim.
B. SUBSTANSI
JURNAL
1.
Profil Luqman
Al-Hakim
Luqman al-Hakim sebagaiman disebut dalam Al-Qur’an ini
adalah profil seorang bapak yang diberi hikmah (ilmu pengetahuan) oleh Allah. Luqman
telah sanggup mengerjakan suatu amal perbuatan yang sesuai dengan tuntutan ilmu
dan agamanya. Namanya disebut dalam al-quran sebagai salah satu orang yang
selalu mengabdikan diri kepada Allah. Ia mengerjkan pokok-pokok pikiran yang
berupa butiran mutiara-mutiara nasehat kepada anaknya.
2.
Arah dan Model
Pendidikan Luqman al-Hakim
Di dalam Al-Quran surat
Luqman pada ayat ke-13 sampai k1-19 terdapat sejumlah masihat atau pelajaran
yang diberikan Luqman kepada anaknya. Ini adalah pertanda atau isyarat dari
Allah, agar apa yang dilakukan Luqman dilakukan juga oleh setiap orang tua atau
masyarakat untuk melakukan pendidikan kepada anak-anak dan anggota masyarakat
yang lain.
a.
Ajaran Bersyukur
atas Karunia Allah
Ajaran
dididikan kepada anaknya sejak dini. Dijelaskan pada ayat 12 dari surat Luqman.
Hal ini untuk menumbuhksn kesadaran setiap anak untuk memahami semua ciptaan
Allah di muka bumi, dan ini semua untuk kepentingan hidup manusia. Maka
sangatlah wajar bahkan sangat ditekankan agar manusia mau bersyukur kepada
Allah. Bagi yang kufur maka siksa allah sangatlah pedih.
b.
Ajaran tentang
Tauhid
Tauhid
merupakan keyakinan untuk hanya mengabdi kepada Allah, atau ajaran mengesakan
Allah terlihat dalam surat Luqman ayat 13. Ajaran tauhid menjadi perhatianutama
Luqman yang diajarkan kepada anaknya. Karena tauhid merupakan fondasi dalam
kehidupan seorang. Implikasi dari ajaran tauhid adalah kemerdekaan diri dan
akan mengangkat derajat serta memposisikan manusia sebagai khalifah di muka
bumi.
c.
Ajaran tentang
Berbuat Baik kepada Orang Tua
Ajaran
ini dinyatakan dalam ayat 14-15. Dua ayat tersebut mengajarkan kepada manusia
untuk berbuat baik ban berbakti kepada kedua orang tua, serta memenuhi hak-hak
keduanya. Allah menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘berbuat baik’ adalah agar
manusia selalu bersyukur setiap saat menerima nikmat yang dilimpahkan kepada
mereka, dan berterima kasih serta menghormati kepada ibu dan bapak.
d.
Ajaran tentang
Tanggung Jawab
Luqman
mewariskan kepada anaknya agar selalu waspada dan selalu bertanggung jawab
terhadap segala sesuatu yang mempengaruhi perbuatan. Dalam konteks tanggung
jawab, pada surat Luqman al-hakim sebenarnya juga negajarkan tentang
kemandirian. Yang deterangkan ayat 33. Dalam hal ni jelas setiap individu dapat
mengembangkan kemandirian dan tidak selalu tergantung kepada orang tua,
termasuk mempertanggungjawabkan segala perilaku dan perbuatannya.
e.
Ajaran tentang
Kewajiban Sholat
Dengan
sholat yang dilakukan lima kali sehari, seseorang akan senanyiasa diingetkan
kan hubungannya dengan Tuhan. Akan terpelihara dari perbuatan dosa, pelanggaran
dan perbuatan yang merupakan pantangan
atau larangan Tuhan. Karena pentingnya mengerjakan sholat maka Luqman
mengajarkan kepada anaknya untuk mendirikan shalat. Hal ini senada dengan
ajaran islam, bahwa kewajiban bagi para orang tua untuk mendidik anaknya
melakukan sholat sejak umur 7 tahun.
f.
Ajaran tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Setelah
mengerjakan sholat, kepribadian seseorang menjadi kuat karena memiliki kemampuan
untuk menjaga diri dari segala perbuatan keji dan munkar, maka ajaran
selanjutnya adalah melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Hendaknya berani
mengatakan yang benar, walaupun dirasakan pahit. Untuk itu dalam melakukannya
harus dilakukan dengan bijak.
g.
Ajaran tentang
Ahlaq Mulia
Wasiat
Luqman ditutup dengan ajarannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
terpuji, yang meliputi:
1)
Larangan untuk
bersikap angkuh dan sombong, membanggakan diri dan memandang rendah orang lain.
2)
Hendaklah
sederhana waktu berjalan dan lemah lembut dalam berbicara, sehingga orang yang
melihat dan mendengar merasa senang dan tenteram hatinya.
C. MANFAAT ISI
JURNAL BAGI PERUBAHAN MAHASISWA DAN MASYARAKAT PADA UMUMNYA
1.
Memberikan wawasan
atau pemahaman kepada para orang tua dalam melakukan pendidikan kepada
putra-putrunya.
2.
Memberikan
wawasan dan pengetahuan bagi guru-guru atau pendidik dan para da’I dalam
melakukan proses pendidikan kepada para siswa atau santrinya
3.
Memberikan
wawasan dan pemahaman kepada guru atau pendidik di sekolah dalam melakukan
pendidikan kepada para peserta didik.
D. PENUTUP
Dari pembahasan hasil penelitian tentang model
pendidikan Luqman Al-Hakim di muka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Dari proses
pendidikan yang dilakukan oleh Luqman Al-Hakim kepada anaknya terkandung makna
bahwa model pendidikan anak yang ideal adalah berawal dari kehidupan keluarga.
2.
Kedudukan Luqman
Al-Hakim sebagai ayah, menunjukan bahwa tanggung jawab pendidikan anak tidak
semata dibebankan kepada Ibu.
3.
Ada relevansi
antar proses pendidikan yang tyerjadi dalam keluarga dan masyarakat.
4.
Ada tiga hal
mendasar yang menjadi perhatian poko dalam model pendidikan Luqman Al-Hakim
yaitu:
a.
Keyakinan
keagamanan. Aspek ini diperlihatkan dalam ajarannya tentang tauhid,. Kesadaran
akan kemakhlukan dan berimplikasi mensyukuri karunia Allah. Kesadaran bahwa
segala perbuatan manusia tidak lepas dari pengawasan Allah, dan keharusan
mendirikan sholat.
b.
Kesadaran moral.
Aspek ini diperlihatkan dalam ajarannya untuk menegakkan hal-hal yang ma’ruf
dan mencegah hal-hal yang munkar, serta keberanian untuk menanggung resiko
dalam urusannya amar ma’ruf dan nahi munkar.
c.
Tanggung jawab
sosial. Aspek ini ditunjukkan dalam ajaran untuk berbuat baik kepada orang
lain, lebih kepada yang berjasa, yaitu orang tua, bergaul secara baik walaupun
dengan orang yang berlainan keyakinan, dan tidak berlagak sombong dan angkuh
kepada orang lain.
Dari pembahasan
hasil penelitian ini dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1.
Diharapkan orang
tua hendaknya tidak melepaskan tanggung jawab untuk melakukan proses pendidikan
secara sungguh-sungguh dalam dalam lingkungan keluarganya. Tidak semata
memindah tanggung jawab pendidikan kepada berbagai lembaga pendidikan. Adanya
dekadensi moral yang manpak dewasa ini, kemungkinan berawal dari tidak
berfungsinya keluarga sebagai basis pendidikan,
2.
Lembaga-lembaga
pendidikan atau guru hendaknya tidak semata mengajar penyampaian materi
pelajaran sesuai target kurikulum dengan melupakan pembinaan kepentingan
spiritual peserta didik. Karena kepincangan ini akan berakibat buruk bagi
pembentukan kepribadian anak,
3.
Lembaga
pendidikan atau guru tidak hanya mengantarkan anak didik naik kelas atau bisa
masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, melainkan bagaimana ia berperan
dalam menjadi peserta didiknya memiliki kesadaran keagamaan, kesadaran moral,
dan tanggungjawab sosial.
I.
TEMA : PROBLEMATIKA BID’AH
II.
TELAAH
A.
ALASAN PEMILIHAN JUDUL
Salah
satu isu besar yang mengancam persatuan dan kesatuan umat islam adalah isu
bid’ah. Kasus
yang mudah kita cermati, misalnya maraknya umat islam yang saling bermusuhan
dan saling mencurigai sesama mereka dengan menggunakan isu bid’ah. Yakni antara
kelompok Ahlussunnah, Mu’tazilah, Khawarij, dan Murji’ah, antara NU dan
Muhammadiyah, antara aliran Salafi, Wahabi,Ahmadiyah dengan aliran-aliran
lainnya. Di Pakistan,Irak,dan Iran, misalnya, isu bid’ah lebih menyulut perang saudara berdarah
antarumat islam. Mengkaji
isu bid’ah sudah barang tentu akan bersinggungan dengan dasar Yuridis, etis-filosofis, dan sosiologis
–antropologis dari konsep bid’ah yang harus dicari sandaran hukumnya (normatif) dalam Al-Qur’an, terutama dari
Al-Sunnah, dan beberapa pendapat ulama terkait dengan bid’ah. Tulisan ini
mencoba memaparkan, dan menelaah landasan hukum normatif konsep bid’ah dan
beberapa pandangan ulama beserta argumen masing-masing melalui pendekatan kebahasaan.
B.
SUBSTANSI JURNAL
1.
Pengertian
Bid’ah secara Istilah (Terminologis)
a. Pendapat
pertama
Segala sesuatu yang
baru setelah masa Rosulullah saw disebut bid’ah, baik yang bersifat terpuji
maupun tercela. Pendukung kelompok ini antara lain Imam Asy-Syafi’i, al-‘Izz
bin Abdussalam, al-Qarafi, al-Ghazali, Ibnu al-Atsir, dan Imam al-Nawawi.
b. Pendapat
kedua
Kelompok kedua ini
berpendapat bahwa bid’ah adalah segala sesuatu yang tidak ada dasar hukumnya
menurut syara’. Tidak ada bid’ah kecuali bid’ah
mazmumah/tercela. Mereka tidak menerima adanya bid’ah hasanah. Ulama yang mendukung pendapat ini antara lan, Imam
Malik RA, Asy-Syathibi, Ibnu Hajar al-Asqalani. Ibnu Hajar al-Haitami, Ibnu
Rajab al-Hanbali, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan al-Zarkasyi.
Antara kelompok yang memegangi pendapat
pertama dan kelompok yang memegangi pendapat kedua sebenarnya sama-sama
mendasarkan pendapatnya pada Hadis. Hanya saja, mereka berbeda dalam memahami
keberlakuan hukum dalam Hadis tersebut.
2. Seputar
Perdebatan antara Pendukung dan Penolak Adanya Bid’ah Hasanah
a.
Pemahaman
Kelompok Penolak Adanya Bid’ah Hasanah
Kelompok yang menolak adanya bid’ah hasanah berpendapat bahwa agama
islam telah sempurna sebelum wafat Rasulullah SAW , tidak perlu adanya
penambahan atau pengurangan. Mereka berdalil dengan beberapa dalil.
1) Al-Qur’an
Surat al-Maidah ayat 3
2) Hadis
dari Jabir bin Abdillah maupum Hadis lain dari “Irbadh bin Sariyah yang
didalamnya terdapat kalimat “kullu
bid’atin dhalalah”, dipahami bahwa hadis ini berlaku secara mutlak untuk makna umum.
Semua dalil yang menjelaskan
tercelanya bid’ah sebagaimana Hadis,”Kullu
bid’atin dhalalah”adalah dalil umumyang berlaku tetap/mutlak. Oleh karena
itu, tidak ada bid’ah kecuali bid’ah
dhalalah, sekalipun shahibul bid’ah mengaku
hasanah/baik. Istilah bid’ah yang dipakai untuk melabeli bid’ah dalam agama,
setelah Rasulullah wafat, adalah kesimpulan melalui kekhususan dalil, bukan
keumumannya. Sesungguhnya bid’ah yang tercela, yang dimaksudkan menurut syara’
tidak menerima pembagian. Adapun bid’ah yang oleh para ulama dibagi menjadi
beberapa macam itu adalah bid’ah secara kebahasaan yang memang berlaku lebih
umum.
b.
Pemahaman Kelompok Pendukung Adanya Bid’ah
Hasanah
Kelompok
pendukung adanya bid’ah hasanah memahami
Hadis “Kullu bid’atin dhalalah” sebagai dalil umum yang telah di-takhshish (dikhususkan) dengan hadis
lain, yaitu Hadis tentang pelaksanaan salat tarawih berjama’ah, sebagaimana
disampaikan sahabat Umar bin Khatab “Nik’mat
al-bid’atu hadzihi” / inilah sebaik-baik bid’ah. Hadis tersebut akan dapat
dipahami secara lengkap, jika diawali dengan Hadis fi’liyah Rosul dalam melakukan qiyam
Ramadhan.
Menurut pemahaman kelompok pendukung
adanya bid’ah hasanah, cara yang
dilakukan Umar itu merupakan terobosan baru yang sangat baik dan belom pernah
dilakukan pada masa Nabi maupun sahabat Abu Bakar RA.
Sanggahan dari penolak adanya Bid’ah Hasanah tekait perkataan Umar bin
Khattab dalam Hadis “ni’mat al-bid’atu
hadzihi” sebagai berikut:
1) Sesungguhnya
tidak benar mengkonfrontasikan sabda Rasulullah SAW dengan perkataan siapa pun
manusia.
2) Bahwasanya
Umar mngeluarkan peerkataan tersebut ketika beliau mengumpulkan orang-orang
untuk shalat tarawih, dan salat tarawih itu bukanlah bid’ah bahkan merupakan
sunnah.Dalilnya Hadis riwayat Aisyah RA. Dengan demikian, maka apa yang
dlakukan oleh Umar itu ada asalnya yaitu dari perbuatan Rasulullah SAW.
3) Apabila
telah terbukti bahwa apa yang dilakukan Umar itu bukanlah bid’ah, maka
perkataan Umar “ni’mat al-bid’atu
hadzihi” hanyalah maksudkan makna bid’ah secara bahasa, bukan secara syara’
/ agama.
Pemahaman kelompok penolak adanya bid’ah hasanah terdapat Hadis “man sanna sunnatan” dan alasan-alasannya
sebagai berikut:
1) Penolak
bid’ah hasanah menerjemahkan kata “man sanna sunnatan”. Yang dimaksud oleh
hadis tersebut adalah beramal sesuai ajaran sunnah nabawiah yang ada. Mereka
mengambil makna demikian didasarkan pada pemahaman mereka terhadap asbab wurud al hadits.
2) Bahwasanya
makna “man sanna” adalah “barangsiapa
yang menghidupkan suatu sunnah yang pernah ada kemudian hilang, lalu dihidupkan
kembali”.
3) Bahwasannya
perkataan beliau “man sanna sunnatan
hasanatan” dan “man sanna sunnatan
sayyiatan” dengan sunnah dalam Hadis tersebut haruslah baik menurut syara’
atau sebaliknya buruk menurut syara’.
Man
sanna sunnatan berarti perbuatan yang diciptakan
pertama kali dan belum ditetapkan oleh syari’ (Allah dan Rosul-Nya). Semua
bid’ah itu dicela secara mutlak karena (dicelanya bid’ah) di situ diisyaratkan
adanya kesesatan dan adanya ketidakridlaan Allah dan Rosul-Nya. Kala demikian,
bid’ah yang tidak mendapat celaan, pembuat bid’ah itu tidak berdosa,dan secara umum dikategorikan
perbuatan yang baik, dan tergolong perbuatan yang dijanjikan mendapat pahala.
C.
MANFAAT ISI JURNAL BAGI PERUBAHAN MAHASISWA DAN
MASYARAKAT PADA UMUMNYA
Memberikan
pemahaman secara utuh kepada umat untuk membentengi masuknya kelompok muslim
yang ekstrim/melampaui batas untuk secara sengaja mengubah pemahaman dari yang
sebenarnya dan melakukan penipuan dari makna hakikinya.
D.
PENUTUP
Dari pelacakan data yang peneliti
lakukan, ditemukan bebrapa hal yang menjadi kesimpulan penelitian berikut ini.
1. Dalam
hal bid’ah, para ulama terbagi menjadi dua kelompok besar, pertama, kelmpok ulama yang berpegang pada pendapat bahwa semua bid’ah
itu sesat. Kelompok ini adalah pendukung kelompok Imam Malik pendiri mazhab
Maliki. Kelompok kedua adalah kelompok yang berpegang pada pendapat bahwa
bid’ah itu tidak seluruhnya sesat, ada sesat dan tercela/ madzmumah, dan ada
yang hasanah dan terpuji / mahmudah. Kelompok kedua ini adalah pendukung Imam
Syafi’i ( pendiri mahzab Syafi’i).pengelompokan ini terjadi karena adanya sebab
yang melatarbelakangi, yaitu adanya perbedaan pemahaman terhadap keberlakuan
lafadz “kullu” yang terdapat pada
Hadis “kullu bid’atin dhalalah”.
Kelompok pertama memahami lafadz “kullu”
berlaku ‘an muthlak / berlaku umum
secara mutlak, sementara kelompok kedua memahami lafadz “kullu” sebagai lafadz ‘am
makhshush / lafadz umum yang berlaku khusus. Di samping itu, mereka berbada
dalam pemaknaan kata”sanna” dalam
Hadis “man sanna sunnatan hasanatan...”. kelompok
pertama memahami “sanna” dengan makna
“melakukan sesuatu yang sudah pernah ada” , sedangkan kelompok kedua memaknai
kata “sanna” dengan pengertian “melakukan sesuatu yang baru yang belum
pernah ada sebelumnya”
2. Dari
perbedaan pemahaman teks dan metode pengambilan makna yang berbeda pula, maka
secara otomatis akan berpengaruh terhadap pemberian batasab konsep bid’ah itu
sendiri.
a. Kelompok
pertama memberikan batasan bid’ah dengan;
“Bid’ah adalah segala
sesuatu yang baru dalam urusan agama yang tidak ada dasar hukumnya menurut
syara’”.
Kelompok pertama ini
lebih cenderung tekstual karena setiap sesuatu yang tidak ada dasar / dalil
syara’nya dianggap bid’ah. Ukurannya adalah ada tidaknya teks dalil.
b. Kelompok
kedua mendefinisikan bid’ah dengan;
“Setiap sesuatu yang
baru muncul sesudah wafat Rasulullah SAW itu bid’ah”
Kelompok ini memberikan
batasan antara bid’ah dhalalah dab bid’ah hasanah. Segala sesuatu yang
selaras dengan dalil-dalil sunnah serta kaidah-kaidah yang berlaku atau
ketentuan yang didasarkan pada kaidah qiyas
(mengqiyaskan dengan sesuatu yang selaras dengan dalil sunnah dan kaidah
yang berlaku), maka itu bid’ah hasanah.
Sedangkan bid’ah yang tidak selaras dengannya (dalil-dalil sunnah serta
kaidah-kaidah yang berlaku), maka disebut bid’ah
sayyi-ah dan sesat.
Dari dua definisi di atas, bila
kita pahami bahwa definisi kedua memaksudkan semua perbuatan yang diciptakan
sesudah Rasulullah wafat, sedangkan Rosul tidak melakukannya, baik dalam urusan
ibadah maupun selain ibadah adalah bid’ah. Yang menjadi ukuran adalah substansi
dari perbuatan baru itu apakah bertentangan atau tidak dengan dalil syara’,
tanpa membedakan apakah urusan ibadah atau tidak. Artinya, ketika urusan ibadah
maupun selain ibadah itu bertentangan dengan dalil syara’, maka itu bid’ah.
Sedang definisi pertama membatasi bid’ah hanya ada dalam masalah agama (al-diin).
Oleh karena itu kedua kelompok di
atas berbeda dalam memberikan definisi dan batasan tentang bid’ah, bahkan
mereka juga berbeda dalam hal metode memahami dalil, masing-masing memberikan
argumen berupa dalil Al-Qur’an maupun Hadis, maka sudah dapat dipastikan dua
pendapat ini sampai kapan pun tidak akan pernah bisa bersatu. Yang ada hanyalah
sepakat dalam perbedaan. Tidak perlu saling menyalahkan dan merasa paling
benar.
I.
TEMA : PENYAKIT HATI
II.
TELAAH
A. ALASAN
PEMILIHAN JUDUL
Manusia modern dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari
kehidupan yang hedonis, kapasitas, dan liberal. Oleh karena itu, orang sering tidak
mampu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi sehingga menimbulkan ketegangan
atu stres yang memicu munculnya berbagai penderitaan. Secara kejiwaan, mereka
juga dipenuhi rasa gelisah dan khawatir. Penyakit hati merupakan penyakit yang
berbahaya, yang tidak mudah untuk dideteksi sehingga ibnu taimiyah dalam
mengonsep penyakit hati layak untuk dikaji lebih lanjut. Hubungannya dengan
dakwah, khususnya bimbingan dan konseling islam, bisa dilihat dari upaya yang
dilakukan oleh ibnu Taimiyah dengan memberikan bimbingan pada tingkat wacana
kepada individu untuk terhindar dari rasa dengki,iri, sombong, dan suka mencela
yang kesemuanya akan mendatangkan kerugian bagi dirinya sendiri. Dakwah sama
sekali bukan hanya kegiatan mimbar untuk mengindoktrinasi sesama tentang
kandungan ajaran suci, melainkan mentransformasib (secara individual dan
masyrakat) dari realitas yang memalingkan diri dari fitrahnya. Dalam perspektif
inilah bimbingan konseling islam menjadi varian penting dalam dakwah
kontemporer untuk menyelamatkan manusia modern dari keterbelengguan ruinitas
kehidupan kapitalis hedonis yang memicu penyakit hati yang mengakibatkan
kebinasaan antara sesama manusia dan peradapan.
B. SUBSTANSI
JURNAL
1. Penyakit
Hati Menurut Ibnu Taimiyah
Penyakit hati menurut Ibnu Taimiyah adalah suatu
bentuk kerusakan yang menimpa hati, yang berakibat dengan tidak mampunya hati
untuk melihat kebenaran yang bermanfaat dan menyukai kebatilan yang membawa
kepada kemudharatan. Penyakit yang di dalam hati, seperti kemarahan, keraguan
dan kebodohan, serta kezaliman. Akan tetapi, fokus kajian Ibnu Taimiyah tentang
penyakit hati adalah hasud atau iri ataupun dengki.
2. Pengobatan
penyakit Hati Menurut Ibnu Taimiyah
Ada tiga hal yang yang dapat dijadikan sebagai obat
hati, yaitu al-Quran, amal saleh, dan meninggalkan maksiat.
a.
Al-Quran adalah
penyembuh bagi penyakit hati yang berada di dalam dada dan bagi orang yang
dalam hatinya ada penyakit keraguan dan syahwat. Di dalamnya terdapat
keterangan-keterangan yang menghilangkan kebatilan dan syubhat yang dapat
merusak ilmu, pemahaman dan kesadaran hingga segala sesuatu secara hakiki. Di
dalamnya terdapat hikmah dan nasehat yang yang baik, seperti dorongan berbuat
baik, ancaman dan kisah-kisah yang di dalamnya terdapat pelajaran yang
berpengaruh pada sehatnya hati. Hati akan menjadi cinta pada hal yang
bermanfaat dan benci kepada kesesatan. Dengan al-Quran, hati dan kehendak
menjadi sehat serta kembali kepada fitrahnya sebagaimana kembalinya badan pada
keadaan yang semula, yaitu nilai-nilai keimanan dan al-Quran yang membawanya
kepada kesucian dan menolongnya untuk melakukan perbuatan baik.
b.
Amal saleh
sebagai oabat hati. Menurutnya hati membutuhkan pemeliharaan supaya dapat
berkembang dan bertambah baik menuju kesempurnaan dan kebaikan. Badan tidak
akan dapat berkembang dengan baik tanpa memberinya hal yang bermanfaat dan
mencegahnya dari hal-hal yang memudaratkanya. Oleh, karena itu, tatkala sedekah
dapat menghapus kesalahan sebagaimana air dapat memadamkan api, maka perbuatan
baik dapat mensucikan hati dari dosa, sesuai dengan QS at-taubah/9:103.
c.
Meninggalkan
maksiat sebagai obat penyakit hati. Apabila bila telah bertobat dari dosa-dosa
, seolah-olah ia telah mensucikan dari segala hal buruk. Maka, apabila hati
telah bertobat dari segala dosa, maka akan kembalilah kekuatan hati dan siap
untuk menjalankan amalan baik, disamping juga meninggalkan dari segala hal yang
sifatnya buruk.
Dari deskripsi
diatas, menurut Wahib Mu’thi, konsep pengobatan penyakit hati yang tiga
tersebut dapat diperinci menjadi beberapa varian, yaitu benar dan ikhlas,
taubat, zuhud, wara, sabar, syukur, tawakal, rela kepada Allah, takut, dan
mengharap.
3. Pengobatan
Hati Dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islam
Dalam
taraf apliakatif, pengobatan penyakit hati Ibnu Taimiyah dalam Perspektif BKI
dapat diformulasikan dalam beberapa bentuk bimbingan sebagai berikut:
a.
Bimbingan dengan
Cara Mendidik Hati
Dari
empat unsur ruhani, hati merupakan hal yang paling penting. Hatilah yang dapat
menembus ruang dan waktu, merasa, berdialog, berinteraksi dengan siapapun,
termasuk dengan Tuhan.
b.
Bimbingan dengan
Cara Mengenal Macam-macam Hati
Ada
tiga macam kondisi hati manusia yang bisa ditawarkan dalam proses bimbingan,
yaitu:
1)
Hati yang sehat
dan bisa menjadi selamat, ini yang dijanjikan akan bertemu Allah.
2)
Hati yang mati,
yang telah mengeras dan membatu karena banyak kerak akibat dosa-dosayang
dilakukan,
3)
Hati yang sakit,
yang di dalamnya ada iman, ada ibadah ada pahala, tetapi juga da kemaksiatan
dan dosa-dosa baik kecil maupun besar.
4. Kelebihan
Dan Kekurangan Konsep Pengobatan Penyakit Hati Menurut Ibnu Taimiyah
Kelebihan dari pemikiran pengobatan penyakit hati
menurut Ibnu taimiyah adalah upayanua untuk mengaktualisasikan tasawuf dalam
lingkup kemsyarakatan. Kekurangan pengonatan penyakit hati menurut Ibnu
Taimiyah terletak pada berhentinya wacana tersebut pada daratan teoritis dan
belum menyentuh pada wilayah aplikatif.
5. Implementasi
Konsep Pengobatan Penyakit Hati Menurut Ibnu Taimiyah dalam Realitas Dakwah
Dari dimensi kerisalahan terdapat dua bidang besar
yaitu tabligh dan irsyad. Tabligh adalah penyebarluasan ajaran agama islam
dengan menempuh jalur oral, massal, seremonial, bahkan kolosal. Sedangkan
irsyad adalah penyebarluasan agama islam yang sangat spesifik di kalangan
tertentu. Irsyad ini menampilkan ajakan personal antara pembimbing dan
terbimbing. Konsep pengobatan penyakit hati menurut Ibnu Taimiyah dapat
diimplementasikan pada individu-individu yang dengan pendekatan model irsyad.
Model ini menuntut adanya paket program seperti manajemen hati yang memiliki
tujuan untuk membentuk muslim kaffah
sehingga mampu hidup secara bermakna.
6. Implementasi
Konsep Pengobatan Penyakit Hati Menurut Ibnu TAimiyah Dalam Bimbingan Konseling
Islam
a.
Sesuai dengan
pengertian bimbingan konseling islam, adalah proses pemberian bantuan kepada
individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan Allah sehingga mencapai
kebahagiaan Dunia dan akhirat. Dalam proses mencapai kebahagiaan inilah tanpa
disertai dengan hati yang sehat seorang tidak akan berhasil.
b.
Sesuai dengan
konsep dasar dari BKI yang menempatkan agama sebagai kebutuhan yang fitri. Maka
konsep ini tidak menggunakan dasar konseptual selain agama itu sendiri yang
bersendikan dari tekstualitas al-Quran dan Hadist.
c.
Sesuai dengan
landasan BKI yang menempatkan Al-Quran dan sunnah sebagai otoritas puncak yang
berposisi sebadai dalil naqli yang dipadukan dengan dalil aqli yang terdiri
dari filsafat dan ilmu. Selaras dengan rancangan konseptual ini yang menjadikan
Al-Quran dan Hadist sebagai kajian pokok.
Dari sinilah,
konsep pengobatan penyakit hati menurut Ibnu Taimiyah sangat padu untuk dimplementasikan
dalam BKI karena memiliki visi dan orientasi yang sama dalam rangka
pengembangan kepribadian secara Qur’ani
C. MANFAAT ISI
JURNAL BAGI PERUBAHAN MAHASISWA DAN MASYARAKAT PADA UMUMNYA
1.
Membantu
individu mewujudkan dirinya menjadi manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan
di dunia dan di akhirat.
2.
Membantu
individu agar bisa menghadapi masalah
3.
Membantu
indivitu untuk mengatasi masalah yang dihadapi
4.
Membimbing
individu agar dapat mengembangkan situasi dan kondisi yang baik sehingga tidak
menjadi sumber masalah bagi yang lain.
D. PENUTUP
Dari pembahasan hasil penelitian
ini, dapat disimpulkan bahwa ada tiga hal yang dapat dijadikan sebagai
obat penyakit hati, yaitu al-Qur’an, amal saleh, dan meninggalkan maksiat.
Menurut Wahib Mu’thi, konsep pengobatan penyakit hati yang tiga tersebut dapat
diperinci menjadi beberapa varian, yaitu benar dan ikhlas, taubat, zuhud, wara,
sabar, syukur, tawakal, rela kepada Allah, takut dan mengharap. Macam-macam
penyakit hati tersebut merupakan sebagian dari apa yang dikemukakan oleh sufi
sebagai al-maqomat dan al-akhwal, yaitu tahapan-tahapan dan keadaan-keadaan
ruhani dalam mendekatkan diri.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari pembahasan hasil penelitian tentang model pendidikan Luqman
Al-Hakim di muka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Dari proses
pendidikan yang dilakukan oleh Luqman Al-Hakim kepada anaknya terkandung makna
bahwa model pendidikan anak yang ideal adalah berawal dari kehidupan keluarga.
2.
Kedudukan Luqman
Al-Hakim sebagai ayah, menunjukan bahwa tanggung jawab pendidikan anak tidak
semata dibebankan kepada Ibu.
3.
Ada relevansi
antar proses pendidikan yang tyerjadi dalam keluarga dan masyarakat.
4.
Ada tiga hal
mendasar yang menjadi perhatian poko dalam model pendidikan Luqman Al-Hakim
yaitu:
a.
Keyakinan
keagamanan. Aspek ini diperlihatkan dalam ajarannya tentang tauhid,. Kesadaran
akan kemakhlukan dan berimplikasi mensyukuri karunia Allah. Kesadaran bahwa
segala perbuatan manusia tidak lepas dari pengawasan Allah, dan keharusan
mendirikan sholat.
b.
Kesadaran moral.
Aspek ini diperlihatkan dalam ajarannya untuk menegakkan hal-hal yang ma’ruf
dan mencegah hal-hal yang munkar, serta keberanian untuk menanggung resiko
dalam urusannya amar ma’ruf dan nahi munkar.
c.
Tanggung jawab
sosial. Aspek ini ditunjukkan dalam ajaran untuk berbuat baik kepada orang
lain, lebih kepada yang berjasa, yaitu orang tua, bergaul secara baik walaupun
dengan orang yang berlainan keyakinan, dan tidak berlagak sombong dan angkuh
kepada orang lain.
Dari pembahasan
hasil penelitian ini dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1.
Diharapkan orang
tua hendaknya tidak melepaskan tanggung jawab untuk melakukan proses pendidikan
secara sungguh-sungguh dalam dalam lingkungan keluarganya. Tidak semata
memindah tanggung jawab pendidikan kepada berbagai lembaga pendidikan. Adanya
dekadensi moral yang manpak dewasa ini, kemungkinan berawal dari tidak
berfungsinya keluarga sebagai basis pendidikan,
2.
Lembaga-lembaga
pendidikan atau guru hendaknya tidak semata mengajar penyampaian materi
pelajaran sesuai target kurikulum dengan melupakan pembinaan kepentingan
spiritual peserta didik. Karena kepincangan ini akan berakibat buruk bagi
pembentukan kepribadian anak,
3.
Lembaga
pendidikan atau guru tidak hanya mengantarkan anak didik naik kelas atau bisa
masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, melainkan bagaimana ia berperan
dalam menjadi peserta didiknya memiliki kesadaran keagamaan, kesadaran moral,
dan tanggungjawab sosial.
Dari pembahasan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa ada tiga hal
yang dapat dijadikan sebagai obat penyakit hati, yaitu al-Qur’an, amal saleh,
dan meninggalkan maksiat. Menurut Wahib Mu’thi, konsep pengobatan penyakit hati
yang tiga tersebut dapat diperinci menjadi beberapa varian, yaitu benar dan
ikhlas, taubat, zuhud, wara, sabar, syukur, tawakal, rela kepada Allah, takut
dan mengharap. Macam-macam penyakit hati tersebut merupakan sebagian dari apa
yang dikemukakan oleh sufi sebagai al-maqomat dan al-akhwal, yaitu
tahapan-tahapan dan keadaan-keadaan ruhani dalam mendekatkan diri.
Dari pelacakan data yang peneliti
lakukan, ditemukan bebrapa hal yang menjadi kesimpulan penelitian berikut ini.
1. Dalam
hal bid’ah, para ulama terbagi menjadi dua kelompok besar, pertama, kelmpok ulama yang berpegang pada pendapat bahwa semua
bid’ah itu sesat. Kelompok ini adalah pendukung kelompok Imam Malik pendiri
mazhab Maliki. Kelompok kedua adalah kelompok yang berpegang pada pendapat
bahwa bid’ah itu tidak seluruhnya sesat, ada sesat dan tercela/ madzmumah, dan
ada yang hasanah dan terpuji / mahmudah. Kelompok kedua ini adalah pendukung
Imam Syafi’i ( pendiri mahzab Syafi’i).pengelompokan ini terjadi karena adanya
sebab yang melatarbelakangi, yaitu adanya perbedaan pemahaman terhadap keberlakuan
lafadz “kullu” yang terdapat pada
Hadis “kullu bid’atin dhalalah”.
Kelompok pertama memahami lafadz “kullu”
berlaku ‘an muthlak / berlaku umum
secara mutlak, sementara kelompok kedua memahami lafadz “kullu” sebagai lafadz ‘am
makhshush / lafadz umum yang berlaku khusus. Di samping itu, mereka berbada
dalam pemaknaan kata”sanna” dalam
Hadis “man sanna sunnatan hasanatan...”. kelompok
pertama memahami “sanna” dengan makna
“melakukan sesuatu yang sudah pernah ada” , sedangkan kelompok kedua memaknai
kata “sanna” dengan pengertian “melakukan sesuatu yang baru yang belum
pernah ada sebelumnya”
2. Dari
perbedaan pemahaman teks dan metode pengambilan makna yang berbeda pula, maka
secara otomatis akan berpengaruh terhadap pemberian batasab konsep bid’ah itu
sendiri.
a. Kelompok
pertama memberikan batasan bid’ah dengan;
“Bid’ah adalah segala
sesuatu yang baru dalam urusan agama yang tidak ada dasar hukumnya menurut
syara’”.
Kelompok pertama ini
lebih cenderung tekstual karena setiap sesuatu yang tidak ada dasar / dalil
syara’nya dianggap bid’ah. Ukurannya adalah ada tidaknya teks dalil.
b. Kelompok
kedua mendefinisikan bid’ah dengan;
“Setiap sesuatu yang
baru muncul sesudah wafat Rasulullah SAW itu bid’ah”
Kelompok ini memberikan
batasan antara bid’ah dhalalah dab bid’ah hasanah. Segala sesuatu yang
selaras dengan dalil-dalil sunnah serta kaidah-kaidah yang berlaku atau
ketentuan yang didasarkan pada kaidah qiyas
(mengqiyaskan dengan sesuatu yang selaras dengan dalil sunnah dan kaidah
yang berlaku), maka itu bid’ah hasanah.
Sedangkan bid’ah yang tidak selaras dengannya (dalil-dalil sunnah serta
kaidah-kaidah yang berlaku), maka disebut bid’ah
sayyi-ah dan sesat.
Dari dua definisi di atas, bila
kita pahami bahwa definisi kedua memaksudkan semua perbuatan yang diciptakan
sesudah Rasulullah wafat, sedangkan Rosul tidak melakukannya, baik dalam urusan
ibadah maupun selain ibadah adalah bid’ah. Yang menjadi ukuran adalah substansi
dari perbuatan baru itu apakah bertentangan atau tidak dengan dalil syara’,
tanpa membedakan apakah urusan ibadah atau tidak. Artinya, ketika urusan ibadah
maupun selain ibadah itu bertentangan dengan dalil syara’, maka itu bid’ah.
Sedang definisi pertama membatasi bid’ah hanya ada dalam masalah agama (al-diin).
Oleh karena itu kedua kelompok di
atas berbeda dalam memberikan definisi dan batasan tentang bid’ah, bahkan
mereka juga berbeda dalam hal metode memahami dalil, masing-masing memberikan
argumen berupa dalil Al-Qur’an maupun Hadis, maka sudah dapat dipastikan dua
pendapat ini sampai kapan pun tidak akan pernah bisa bersatu. Yang ada hanyalah
sepakat dalam perbedaan. Tidak perlu saling menyalahkan dan merasa paling
benar.