BAB I
PENDAHULUAN
Keterbatasan
persediaan bahan baku pakan berkualitas merupakan kendala utama bagi
terciptanya kegiatan usaha ternak. Sumber pakan yang berkualitas tinggi seperti
tepung ikan dan tepung kedelai semakin terbatas. Perlu adanya bahan pengganti
bahan pakan tersebut yang harganya lebih terjangkau dan mudah didapatkan. Daun
Lamtoro (Leucaena leucocephala)
termasuk hijauan yang bernilai gizi tinggi namun pemanfaatannya sebagai pakan
ternak pemberiannya perlu dibatasi. Hal ini karena daun lamtoro mengandung zat
anti nutrien yaitu asam amino non protein yang disebut tanin.
Tanin
merupakan senyawa kimia yang termasuk golongan senyawa polifenol. Senyawa
polifenol dan hasil oksidasinya diketahui dapat berinteraksi dengan protein
(Pujaningsih dan Mukodiningsih, 2002). Tanin adalah kelompok polifenol yang
larut dalam air dengan berat molekul 500 – 3000 g/mol. Tanin mampu mengendapkan
alkaloid, gelatin dan protein lainnya, membentuk warna merah tua dengan kalium
ferisianida dan amonia serta dapat diendapkan oleh garam-garam Cu, Pb dan
kalium kromat (atau 1% asam kromat) (Fajriati, 2006). Adanya zat tanin dapat
menimbulkan keracunan atau gangguan kesehatan apabila dikonsumsi secara
berlebih dan terus menerus.
Tujuan
praktikum Kimia dan Toksikologi pakan adalah untuk mengetahui kadar tanin pada
daun lamtoro. Manfaat praktikum adalah didapatkan informasi tentang kadar tanin
pada bahan pakan.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.
Leucaena leucocephala
Lamtoro (Leucaena leucocephala) termasuk hijauan
yang bernilai gizi tinggi sangat
berpotensi digunakan untuk pakan ternak, karena percabangan yang kecil dan
banyak serta daunnya desenangi ternak. Palatabilitas dan daya cerna daun
Lamtoro cukup tinggi (Yurmiaty dan Suradi, 2007). Adanya zat antinutrisi
sehingga pemanfaatannya sebagai pakan ternak dalam pemberiannya perlu
dibatasi. Kandungan nutrisi dari
tepung daun lamtoro yaitu air 7,76 g; abu 6,90 g; lemak 3,34 g; 14,10 g; serat
kasar 19,60 g; karbohidrat 28,30 g dan energi metabolit 199,50 kkal/kg (Widodo, 2010).
2.2.
Tanin
Tanin
merupakan senyawa kimia yang termasuk golongan senyawa polifenol. Senyawa
polifenol dan hasil oksidasinya diketahui dapat berinteraksi dengan protein
(Pujaningsih dan Mukodiningsih, 2002). Tanin adalah kelompok polifenol yang
larut dalam air dengan berat molekul 500 – 3000 g /mol. Tanin mampu
mengendapkan alkaloid, gelatin dan protein lainnya, membentuk warna merah tua
dengan kalium ferisianida dan amonia serta dapat diendapkan oleh garam-garam
Cu, Pb dan kalium kromat (atau 1% asam kromat). Tanin lebih dikenal dengan asam
tanat, biasanya mengandung 10% H2O. Struktur kimia tanin adalah
kompleks dan tidak sama. Asam tanat tersusun 5-10 residu ester galat, sehingga
galotanin sebagai salah satu senyawa turunan tanin dikenal dengan nama asam
tanat. Dalam larutan basa, beberapa turunana tanin dapat mengabsorbsi oksigen
(Fajriati, 2006)
Gambar. Struktur kimia
tanin (Peter, 1993) dalam sitasi Fajriati (2006).
2.3.
Batas Maksimum Pemberian Tanin
Dalam
tubuh unggas khususnya ayam, pemberian pakan yang mengandung tanin sebesar 0,33% tidak membahayakan.
Tetapi, apabila kadar tanin dalam pakan mencapai 0,5% atau lebih akan mulai
memberikan pengaruhnya yaitu penekanan pertumbuhan karena tanin menekan retensi
nitrogen dan penurunan daya cerna asam-asam amino yang seharusnya dapat diserap
oleh vili-vili usus dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan perkembangan
jaringan-jaringan tubuh. Dosis pemberian tepung
daun lamtoro 5 - 10% dalam bahan pakan pada unggas maupun kelinci dapat menyebabkan
penurunan performen ternak (Widodo, 2010).
Tanin
akan mempengaruhi metabolisme zat di dalam tubuh, karena dapat menghambat kerja
enzim amilase, lipase dan protease (Mudjisihono dan Suprapto,1987) dalam sitasi
(Wahyuni et al., 2008). Senyawa
kompleks pada tanin bersifat racun yang dapat berperan dalam menghambat
pertumbuhan dan mengurangi nafsu makan herbivora melalui penghambatan aktivitas
enzim pencernaan yakni α-amylase
(Firdausi et al., 2013).
Tanin
dapat mempengaruhi pertumbuhan hewan dengan dua cara yaitu : rasa sepat tanin
menurunkan tingkat konsumsi pakan dan mempunyai kemampuan untuk mengikat
protein di intestinum yang mengakibatkan penurunan daya cerna dan absorpsi
protein. Tanin merupakan tepung yang berwarna agak kekunigan, sangat larut
dalam alkohol, air panas, dan bersifat racun. Jika tanin bereaksi dengan ion
logam akan terbentuk endapan berwarna merah tua sampai hitam (Widodo, 2010).
Penggunaan tanin yang berlebih mampu mengikat nutrien sehingga nutrien tidak bisa
digunakan oleh ternak(Chanchay dan Poosaran, 2009).
2.4.
Penanggulangan dan Pencegahan Kadar Tanin
Cara
yang dilakukan untuk mengurangi kadar tanin yaitu mencampurkan hijauan kedalam
hijauan lainnya. Cara yang lain yaitu melakukan proses pemanasan (pengeringan
atau pelayuan) yang dapat meningkatkan pemecahan mimosin menjadi DHP yang
kurang toksik (Tangendjaya dan Lowry, 1984). Pengeringan sebaiknya dilakukan
pada suhu 50 - 70°C, bila lebih tinggi
dari 70°C dapat menyebabkan terjadinya denaturasi enzim. Perendaman lamtoro
dalam air panas pada suhu 60°C selama 3 menit dapat mengubah mimosin menjadi
DHP hanya terjadi pada daun, sedangkan pada tangkai daun tidak terjadi
penurunan (Lowry, 1982). Penelitian yang dilakukan oleh Chanchay dan Poosaran
(2009) bahwa dengan metode preparasi yang dilakukan dapat menurunkan kadar
tanin sebesar 99,34% dari 37,582% (daun segar) menjadi 0,249%.
BAB III
MATERI
DAN METODE
Praktikum Kimia dan Toksikologi
Pakan dengan materi Pengukuran Kandungan Tanin dilaksanakan pada hari Rabu,
tanggal 3 Juni 2015 pukul 14.00
-16.00
WIB di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian,
Universitas Diponegoro, Semarang.
3.1.
Materi
Bahan yang digunakan dalam praktikum
adalah tepung daun lamtoro, Folin, Na2CO3, dan aquades.
Alat yang digunakan yaitu gelas ukur, gelas beker 250 ml, labu takar, botol plastik,
tabung reaksi, pipet ukur, pipet hisap, rak tabung, timbangan elektrik dan spektrofotometer.
3.2.
Metode
Metode yang dilakukan yaitu membuat
preparasi pendahuluan dan pengenceran. Preparasi pendahuluan dilakukan dengan
cara menimbang sampel bahan sebanyak 2 gram yang kemudian dimasukkan kedalam
gelas beker 250 ml. Melakukan destruksi (perebusan) pada sampel bahan yang
telah ditimbang dengan menambahkan air sebanyak 150 ml selama 15 menit,
kemudian sampel yang telah dingin tersebut dilakukan penyaringan.
Metode
selanjutnya yaitu melakukan pengenceran. Pengenceran dilakukan dengan cara
mengambil larutan induk sebanyak 0,5 ml, kemudian melarutkannya dengan aquademin
sebanyak 10 ml. Setelah itu, memasukkan larutan kedalam masing-masing tabung
reaksi sebanyak 0,5 ml. Masing-masing tabung ditambahkan 8 ml aquades, kemudian
memasukkan larutan folin sebanyak 0,5 ml dan ditunggu selama 10 menit. Setelah
10 menit, memasukkan larutan Na2CO3 masing-masing
sebanyak 1 ml dan ditunggu selama 30 menit. Setelah itu, memasukkan kedalam
gelas kaca kotak sampai tanda batas. Kemudian memasukkan gelas kaca kotak
kedalam alat spektrofotometer untuk
melihat hasil absorbi sampel (Y). Setelah itu, memasukkan hasil absorbsi sampel
(Y) kedalam rumus, sebagai berikut :
a.
Persamaan linier
Y
= 64,67 x + 0,002
dimana,
Y = absorbsi sampel
X = konsentrasi
b. Kadar
Tanin (%) =
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil praktikum analisis
pengukuran tanin pada tepung daun lamtoro didapatkan hasil tabel berikut :
Tabel
1. Hasil Praktikum Uji Tanin pada tepung Daun Lamtoro
Parameter
|
Hasil
Pengukuran Kadar Tanin (%)
|
|
Hasil
Praktikum (rata-rata)
|
Literatur
*
|
|
Daun Lamtoro
|
0,035
|
0,249
|
Sumber : Data
Praktikum Kimia dan Toksikologi Pakan, 2015.
*Chanchay dan Poosaran,
2009.
Hasil
pengukuran kadar tanin pada daun lamtoro didapatkan hasil rata-rata sebanyak
0,035%. Hal ini sangat
rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Chanchay dan Poorsan (2009) yaitu
dengan metode preparasi yang dilakukan dapat menurunkan kadar tanin sebesar
99,34% dari 37,582% (daun segar) menjadi 0,249%. Merujuk pada hasil ini, maka
dugaan bahwa kadar tanin merupakan penyebab menurunnya kinerja pertumbuhan pada
penggunaan tepung daun lamtoro dalam penelitian ini mungkin kurang tepat,
karena tepung daun lamtoro yang digunakan sudah tidak mengandung tanin lagi.
Adanya kemungkinan hilangnya beberapa asam amino tertentu akibat perlakuan
perendaman dan pengovenan ini.
Berdasarkan
hasil dari rata-rata pengukuran kadar tanin yang didapat yaitu 0,034895%,
apabila daun lamtoro tersebut ingin diberikan ke ternak ayam maka hasil
persentase tersebut tidak membahyakan bagi ternak ayam. Hal ini sesuai dengan
pendapat (Widodo, 2010) yang menyatakan bahwa dalam tubuh unggas khususnya
ayam, pemberian pakan yang mengandung tanin sebesar 0,33% tidak membahayakan.
Tetapi, apabila kadar tanin dalam pakan mencapai 0,5% atau lebih akan mulai
memberikan pengaruhnya yaitu penekanan pertumbuhan karena tanin menekan retensi
nitrogen dan penurunan daya cerna asam-asam amino yang seharusnya dapat diserap
oleh vili-vili usus dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan perkembangan
jaringan-jaringan tubuh. Menambahkan pula bahwa dosis
pemberian tepung daun lamtoro 5 - 10% dalam bahan pakan pada unggas maupun kelinci
dapat menyebabkan penurunan performen ternak.
Tanaman
lamtoro mengandung metabolit sekunder yaitu tanin. Senyawa dapat menurunkan
palatabilitas pakan dan penurunan kecernaan protein. Penggunaan tanin yang
berlebih toksisitas tanin dilaporkan antara lain mengikat nutrien pakan
(protein dan mineral) sehingga tidak dapat dimanfaatkan oelh ternak. Tanin
mengganggu kerja enzim pencernaan dan mengurangi daya absorbsi terhadap vitamin
B12. Hal ini sesuai dengan pendapat Chanchay dan Poosaran (2009) bahwa
penggunaan tanin yang berlebih mampu mengikat nutrien sehingga nutrien tidak bisa
digunakan oleh ternak.
Adanya
kandungan tanin dapat ditanggulangi atau diatasi dengan beberapa cara. Cara
yang dapat dilakukan untuk mengurangi kadar tanin yaitu mencampurkan hijauan
kedalam hijauan lainnya. Cara yang lain yaitu melakukan proses pemanasan
(pengeringan atau pelayuan) yang dapat meningkatkan pemecahan mimosin menjadi dihydroxy
pyridine (DHP) yang kurang toksik
(Tangendjaya dan Lowry, 1984). Lowry
(1982) menyatakan bahwa pengeringan
sebaiknya dilakukan pada suhu 50
- 70°C bila lebih tinggi dari
70°C dapat menyebabkan
terjadinya denaturasi enzim. Perendaman lamtoro dalam air panas pada suhu 60°C selama 3 menit dapat
mengubah mimosin menjadi DHP hanya terjadi pada daun, sedangkan pada tangkai
daun tidak terjadi penurunan.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan pengukuran kadar tanin
terhadap tepung daun lamtoro dapat disimpulkan bahwa hasil kadar tanin lebih rendah dibandingkan dengan
literatur yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Chanchay, N. dan N. Poosaran. 2009. The reduction of
mimosine and tanin contentsin leaves of Leucaena
leucocephala. Asian Journal
of Food and Agro-Industry. Special Issue : 137-144.
Fajriati, I. 2006. Optimasi metode penentuan tanin
(Analisi tanin secara spektofotometri dengan pereaksi orto-fenantrolin). J.
Kaunia 2 (2): 102-120
Firdausi, A., T. A. Siswoyo dan S. Wiryadiputra.
2013. Identifikasi tanaman potensial penghasil tanin-protein kompleks untuk
penghambatan aktivitas α-amylase
kaitannya sebagai pestisida nabati. Pelita Perkebunan 29 (1):
31-43.
Lowry, J. B. 1982. Detoxification of Leucaena by
enzymatic or microbial processes. In Proc. Leucaena Research in the
Asian-Pacific Region. IDRC, 211-e. Hal 49-54.
Pujaningsih, R. I. dan S. Mukodiningsih. 2002.
Laporan Akhir : Peningkatan utilitas biji sorghum dengan perlakuan pemanasan.
Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro. Semarang.
Tangendjaja, B. dan J. B. Lowry. 1984. Peranan enzym
didalam daun lamtoro pada pemecahan mimosin oleh ternak ruminansia. Proc.
Pertemuan Ilmiah Penelitian Ruminansia Kecil. Puslitbangnak. Bogor, hal 12-15.
Wahyuni, H. I., R. I. Pujaningsih dan P. A. Sayekti.
2008. Kajian nilai energi metabolis biji shorgum melalui teknologi sangrai pada
ayam petelur periode afkir. Jurnal Agripet 8
(1): 25-30.
Widodo, W. 2010. Bahan Pakan Unggas Non
Konvensional. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.
Widodo, W. 2010. Nutrisi dan Pakan Unggas
Konstekstual. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.
Yurmiaty, H. dan K. Suradi. 2007. Penggunaan daun
Lamtoro (Leucaena leucocephala) dalam ransum terhadap
produksi pelt dan kerontokan bulu kelinci. J. Ilmu Ternak 7 (1): 73 – 77.