Senin, 24 Juni 2013

Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam


TELAAH JURNAL
1.      MODEL PENDIDIKAN LUQMAN AL-HAKIM DI DALAM AL-QUR’AN
2.      TERAPI PENYAKIT HATI MENURUT IBN TAIMIYAH DALAM PERSPEKTIF BIMBINGAN KONSELING ISLAM
3.      PROBLEMATIKA BID’AH: KAJIAN TERHADAP DALIL DAN ARGUMEN PENDUKUNG SERTA PENOLAK ADANYA BID’AH HASANA
Tugas Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam
Oleh:
HARUM ISHMA SAVITRI
S-1 PETERNAKAN
23010112130093
Kelas B



FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2012


  I.       TEMA     : PENDIDIKAN MORAL

  II.     TELAAH

A.  ALASAN PEMILIHAN JUDUL
Kehidupan modern dewasa ini telah ditandai semakin meningkatnya perkembangan IPTEK dan arus globalisasi.banyak kasus terjadi hubungan tidak harmonis antara anggota keluarga. Berbagai persoalan tersebut sangat erat kaitannya dengan pendidikan. Salah satu diantara manusia pilihsn, yang ditunjuk oleh Allah dan diabadikan dalam Al-Quran dan secara spesifik melukiskan proses pendidikan adalah penyebutan nama tokoh Luqman al-Hakim. Luqman seorang hjamba Allah yang dianugerahi “hikmah”, memiliki aqidah yang benar dan memahami pokok-pokok ajaran agama Allah , serta memiliki ahlaq yang mulia. Oleh karena itu, penilitian ini diarahkan untuk mengungkap lebih lanjut tentang keistimewaan itu, terutama arah dan model pendidikan yang dilakukan oleh Lqman Al-Hakim.

B.  SUBSTANSI JURNAL
1.      Profil Luqman Al-Hakim
Luqman al-Hakim sebagaiman disebut dalam Al-Qur’an ini adalah profil seorang bapak yang diberi hikmah (ilmu pengetahuan) oleh Allah. Luqman telah sanggup mengerjakan suatu amal perbuatan yang sesuai dengan tuntutan ilmu dan agamanya. Namanya disebut dalam al-quran sebagai salah satu orang yang selalu mengabdikan diri kepada Allah. Ia mengerjkan pokok-pokok pikiran yang berupa butiran mutiara-mutiara nasehat kepada anaknya.
2.      Arah dan Model Pendidikan Luqman al-Hakim
Di dalam Al-Quran surat Luqman pada ayat ke-13 sampai k1-19 terdapat sejumlah masihat atau pelajaran yang diberikan Luqman kepada anaknya. Ini adalah pertanda atau isyarat dari Allah, agar apa yang dilakukan Luqman dilakukan juga oleh setiap orang tua atau masyarakat untuk melakukan pendidikan kepada anak-anak dan anggota masyarakat yang lain.
a.       Ajaran Bersyukur atas Karunia Allah
Ajaran dididikan kepada anaknya sejak dini. Dijelaskan pada ayat 12 dari surat Luqman. Hal ini untuk menumbuhksn kesadaran setiap anak untuk memahami semua ciptaan Allah di muka bumi, dan ini semua untuk kepentingan hidup manusia. Maka sangatlah wajar bahkan sangat ditekankan agar manusia mau bersyukur kepada Allah. Bagi yang kufur maka siksa allah sangatlah pedih.
b.      Ajaran tentang Tauhid
Tauhid merupakan keyakinan untuk hanya mengabdi kepada Allah, atau ajaran mengesakan Allah terlihat dalam surat Luqman ayat 13. Ajaran tauhid menjadi perhatianutama Luqman yang diajarkan kepada anaknya. Karena tauhid merupakan fondasi dalam kehidupan seorang. Implikasi dari ajaran tauhid adalah kemerdekaan diri dan akan mengangkat derajat serta memposisikan manusia sebagai khalifah di muka bumi.
c.       Ajaran tentang Berbuat Baik kepada Orang Tua
Ajaran ini dinyatakan dalam ayat 14-15. Dua ayat tersebut mengajarkan kepada manusia untuk berbuat baik ban berbakti kepada kedua orang tua, serta memenuhi hak-hak keduanya. Allah menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘berbuat baik’ adalah agar manusia selalu bersyukur setiap saat menerima nikmat yang dilimpahkan kepada mereka, dan berterima kasih serta menghormati kepada ibu dan bapak.
d.      Ajaran tentang Tanggung Jawab
Luqman mewariskan kepada anaknya agar selalu waspada dan selalu bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang mempengaruhi perbuatan. Dalam konteks tanggung jawab, pada surat Luqman al-hakim sebenarnya juga negajarkan tentang kemandirian. Yang deterangkan ayat 33. Dalam hal ni jelas setiap individu dapat mengembangkan kemandirian dan tidak selalu tergantung kepada orang tua, termasuk mempertanggungjawabkan segala perilaku dan perbuatannya.
e.       Ajaran tentang Kewajiban Sholat
Dengan sholat yang dilakukan lima kali sehari, seseorang akan senanyiasa diingetkan kan hubungannya dengan Tuhan. Akan terpelihara dari perbuatan dosa, pelanggaran dan perbuatan yang merupakan pantangan  atau larangan Tuhan. Karena pentingnya mengerjakan sholat maka Luqman mengajarkan kepada anaknya untuk mendirikan shalat. Hal ini senada dengan ajaran islam, bahwa kewajiban bagi para orang tua untuk mendidik anaknya melakukan sholat sejak umur 7 tahun.
f.        Ajaran tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Setelah mengerjakan sholat, kepribadian seseorang menjadi kuat karena memiliki kemampuan untuk menjaga diri dari segala perbuatan keji dan munkar, maka ajaran selanjutnya adalah melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Hendaknya berani mengatakan yang benar, walaupun dirasakan pahit. Untuk itu dalam melakukannya harus dilakukan dengan bijak.
g.      Ajaran tentang Ahlaq Mulia
Wasiat Luqman ditutup dengan ajarannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang terpuji, yang meliputi:
1)      Larangan untuk bersikap angkuh dan sombong, membanggakan diri dan memandang rendah orang lain.
2)      Hendaklah sederhana waktu berjalan dan lemah lembut dalam berbicara, sehingga orang yang melihat dan mendengar merasa senang dan tenteram hatinya.

C.  MANFAAT ISI JURNAL BAGI PERUBAHAN MAHASISWA DAN MASYARAKAT PADA UMUMNYA
1.      Memberikan wawasan atau pemahaman kepada para orang tua dalam melakukan pendidikan kepada putra-putrunya.
2.      Memberikan wawasan dan pengetahuan bagi guru-guru atau pendidik dan para da’I dalam melakukan proses pendidikan kepada para siswa atau santrinya
3.      Memberikan wawasan dan pemahaman kepada guru atau pendidik di sekolah dalam melakukan pendidikan kepada para peserta didik.

D.  PENUTUP
Dari pembahasan hasil penelitian tentang model pendidikan Luqman Al-Hakim di muka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Dari proses pendidikan yang dilakukan oleh Luqman Al-Hakim kepada anaknya terkandung makna bahwa model pendidikan anak yang ideal adalah berawal dari kehidupan keluarga.
2.      Kedudukan Luqman Al-Hakim sebagai ayah, menunjukan bahwa tanggung jawab pendidikan anak tidak semata dibebankan kepada Ibu.
3.      Ada relevansi antar proses pendidikan yang tyerjadi dalam keluarga dan masyarakat.
4.      Ada tiga hal mendasar yang menjadi perhatian poko dalam model pendidikan Luqman Al-Hakim yaitu:
a.       Keyakinan keagamanan. Aspek ini diperlihatkan dalam ajarannya tentang tauhid,. Kesadaran akan kemakhlukan dan berimplikasi mensyukuri karunia Allah. Kesadaran bahwa segala perbuatan manusia tidak lepas dari pengawasan Allah, dan keharusan mendirikan sholat.
b.      Kesadaran moral. Aspek ini diperlihatkan dalam ajarannya untuk menegakkan hal-hal yang ma’ruf dan mencegah hal-hal yang munkar, serta keberanian untuk menanggung resiko dalam urusannya amar ma’ruf dan nahi munkar.
c.       Tanggung jawab sosial. Aspek ini ditunjukkan dalam ajaran untuk berbuat baik kepada orang lain, lebih kepada yang berjasa, yaitu orang tua, bergaul secara baik walaupun dengan orang yang berlainan keyakinan, dan tidak berlagak sombong dan angkuh kepada orang lain.
Dari pembahasan hasil penelitian ini dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1.      Diharapkan orang tua hendaknya tidak melepaskan tanggung jawab untuk melakukan proses pendidikan secara sungguh-sungguh dalam dalam lingkungan keluarganya. Tidak semata memindah tanggung jawab pendidikan kepada berbagai lembaga pendidikan. Adanya dekadensi moral yang manpak dewasa ini, kemungkinan berawal dari tidak berfungsinya keluarga sebagai basis pendidikan,
2.      Lembaga-lembaga pendidikan atau guru hendaknya tidak semata mengajar penyampaian materi pelajaran sesuai target kurikulum dengan melupakan pembinaan kepentingan spiritual peserta didik. Karena kepincangan ini akan berakibat buruk bagi pembentukan kepribadian anak,
3.      Lembaga pendidikan atau guru tidak hanya mengantarkan anak didik naik kelas atau bisa masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, melainkan bagaimana ia berperan dalam menjadi peserta didiknya memiliki kesadaran keagamaan, kesadaran moral, dan tanggungjawab sosial.

I.                   TEMA                        : PROBLEMATIKA BID’AH
  II.               TELAAH
A.    ALASAN PEMILIHAN JUDUL
Salah satu isu besar yang mengancam persatuan dan kesatuan umat islam adalah isu bid’ah. Kasus yang mudah kita cermati, misalnya maraknya umat islam yang saling bermusuhan dan saling mencurigai sesama mereka dengan menggunakan isu bid’ah. Yakni antara kelompok Ahlussunnah, Mu’tazilah, Khawarij, dan Murji’ah, antara NU dan Muhammadiyah, antara aliran Salafi, Wahabi,Ahmadiyah dengan aliran-aliran lainnya. Di Pakistan,Irak,dan Iran, misalnya, isu bid’ah  lebih menyulut perang saudara berdarah antarumat islam. Mengkaji isu bid’ah sudah barang tentu akan bersinggungan dengan dasar Yuridis, etis-filosofis, dan sosiologis –antropologis dari konsep bid’ah yang harus dicari sandaran hukumnya (normatif) dalam Al-Qur’an, terutama dari Al-Sunnah, dan beberapa pendapat ulama terkait dengan bid’ah. Tulisan ini mencoba memaparkan, dan menelaah landasan hukum normatif konsep bid’ah dan beberapa pandangan ulama beserta argumen masing-masing melalui pendekatan kebahasaan.

B.     SUBSTANSI JURNAL
1.      Pengertian Bid’ah secara Istilah (Terminologis)
a.       Pendapat pertama
Segala sesuatu yang baru setelah masa Rosulullah saw disebut bid’ah, baik yang bersifat terpuji maupun tercela. Pendukung kelompok ini antara lain Imam Asy-Syafi’i, al-‘Izz bin Abdussalam, al-Qarafi, al-Ghazali, Ibnu al-Atsir, dan Imam al-Nawawi.
b.      Pendapat kedua
Kelompok kedua ini berpendapat bahwa bid’ah adalah segala sesuatu yang tidak ada dasar hukumnya menurut syara’. Tidak ada bid’ah kecuali bid’ah mazmumah/tercela. Mereka tidak menerima adanya bid’ah hasanah. Ulama yang mendukung pendapat ini antara lan, Imam Malik RA, Asy-Syathibi, Ibnu Hajar al-Asqalani. Ibnu Hajar al-Haitami, Ibnu Rajab al-Hanbali, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan al-Zarkasyi.
Antara kelompok yang memegangi pendapat pertama dan kelompok yang memegangi pendapat kedua sebenarnya sama-sama mendasarkan pendapatnya pada Hadis. Hanya saja, mereka berbeda dalam memahami keberlakuan hukum dalam Hadis tersebut.
2.       Seputar Perdebatan antara Pendukung dan Penolak Adanya Bid’ah Hasanah
a.      Pemahaman Kelompok Penolak Adanya Bid’ah Hasanah
Kelompok yang menolak adanya bid’ah hasanah berpendapat bahwa agama islam telah sempurna sebelum wafat Rasulullah SAW , tidak perlu adanya penambahan atau pengurangan. Mereka berdalil dengan beberapa dalil.
1)      Al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 3
2)      Hadis dari Jabir bin Abdillah maupum Hadis lain dari “Irbadh bin Sariyah yang didalamnya terdapat kalimat “kullu bid’atin dhalalah”, dipahami bahwa hadis ini  berlaku secara mutlak untuk makna umum.
Semua dalil yang menjelaskan tercelanya bid’ah sebagaimana Hadis,”Kullu bid’atin dhalalah”adalah dalil umumyang berlaku tetap/mutlak. Oleh karena itu, tidak ada bid’ah kecuali bid’ah dhalalah, sekalipun shahibul bid’ah mengaku hasanah/baik. Istilah bid’ah yang dipakai untuk melabeli bid’ah dalam agama, setelah Rasulullah wafat, adalah kesimpulan melalui kekhususan dalil, bukan keumumannya. Sesungguhnya bid’ah yang tercela, yang dimaksudkan menurut syara’ tidak menerima pembagian. Adapun bid’ah yang oleh para ulama dibagi menjadi beberapa macam itu adalah bid’ah secara kebahasaan yang memang berlaku lebih umum.
b.      Pemahaman Kelompok Pendukung Adanya Bid’ah Hasanah
      Kelompok pendukung adanya bid’ah hasanah memahami Hadis “Kullu bid’atin dhalalah” sebagai dalil umum yang telah di-takhshish (dikhususkan) dengan hadis lain, yaitu Hadis tentang pelaksanaan salat tarawih berjama’ah, sebagaimana disampaikan sahabat Umar bin Khatab “Nik’mat al-bid’atu hadzihi” / inilah sebaik-baik bid’ah. Hadis tersebut akan dapat dipahami secara lengkap, jika diawali dengan Hadis fi’liyah Rosul dalam melakukan qiyam Ramadhan.
      Menurut pemahaman kelompok pendukung adanya bid’ah hasanah, cara yang dilakukan Umar itu merupakan terobosan baru yang sangat baik dan belom pernah dilakukan pada masa Nabi maupun sahabat Abu Bakar RA.
      Sanggahan dari penolak adanya Bid’ah Hasanah tekait perkataan Umar bin Khattab dalam Hadis “ni’mat al-bid’atu hadzihi” sebagai berikut:
1)      Sesungguhnya tidak benar mengkonfrontasikan sabda Rasulullah SAW dengan perkataan siapa pun manusia.
2)      Bahwasanya Umar mngeluarkan peerkataan tersebut ketika beliau mengumpulkan orang-orang untuk shalat tarawih, dan salat tarawih itu bukanlah bid’ah bahkan merupakan sunnah.Dalilnya Hadis riwayat Aisyah RA. Dengan demikian, maka apa yang dlakukan oleh Umar itu ada asalnya yaitu dari perbuatan Rasulullah SAW.
3)      Apabila telah terbukti bahwa apa yang dilakukan Umar itu bukanlah bid’ah, maka perkataan Umar “ni’mat al-bid’atu hadzihi” hanyalah maksudkan makna bid’ah secara bahasa, bukan secara syara’ / agama.
Pemahaman kelompok penolak adanya bid’ah hasanah terdapat Hadis “man sanna sunnatan” dan alasan-alasannya sebagai berikut:
1)      Penolak bid’ah hasanah menerjemahkan kata “man sanna sunnatan”. Yang dimaksud oleh hadis tersebut adalah beramal sesuai ajaran sunnah nabawiah yang ada. Mereka mengambil makna demikian didasarkan pada pemahaman mereka terhadap asbab wurud al hadits.
2)      Bahwasanya makna “man sanna” adalah “barangsiapa yang menghidupkan suatu sunnah yang pernah ada kemudian hilang, lalu dihidupkan kembali”.
3)      Bahwasannya perkataan beliau “man sanna sunnatan hasanatan” dan “man sanna sunnatan sayyiatan” dengan sunnah dalam Hadis tersebut haruslah baik menurut syara’ atau sebaliknya buruk menurut syara’.
Man sanna sunnatan berarti perbuatan yang diciptakan pertama kali dan belum ditetapkan oleh syari’ (Allah dan Rosul-Nya). Semua bid’ah itu dicela secara mutlak karena (dicelanya bid’ah) di situ diisyaratkan adanya kesesatan dan adanya ketidakridlaan Allah dan Rosul-Nya. Kala demikian, bid’ah yang tidak mendapat celaan, pembuat bid’ah itu  tidak berdosa,dan secara umum dikategorikan perbuatan yang baik, dan tergolong perbuatan yang dijanjikan mendapat pahala.

C.    MANFAAT ISI JURNAL BAGI PERUBAHAN MAHASISWA DAN MASYARAKAT PADA UMUMNYA
Memberikan pemahaman secara utuh kepada umat untuk membentengi masuknya kelompok muslim yang ekstrim/melampaui batas untuk secara sengaja mengubah pemahaman dari yang sebenarnya dan melakukan penipuan dari makna hakikinya. 

D.    PENUTUP
Dari pelacakan data yang peneliti lakukan, ditemukan bebrapa hal yang menjadi kesimpulan penelitian berikut ini.
1.      Dalam hal bid’ah, para ulama terbagi menjadi dua kelompok besar, pertama, kelmpok ulama yang berpegang pada pendapat bahwa semua bid’ah itu sesat. Kelompok ini adalah pendukung kelompok Imam Malik pendiri mazhab Maliki. Kelompok kedua adalah kelompok yang berpegang pada pendapat bahwa bid’ah itu tidak seluruhnya sesat, ada sesat dan tercela/ madzmumah, dan ada yang hasanah dan terpuji / mahmudah. Kelompok kedua ini adalah pendukung Imam Syafi’i ( pendiri mahzab Syafi’i).pengelompokan ini terjadi karena adanya sebab yang melatarbelakangi, yaitu adanya perbedaan pemahaman terhadap keberlakuan lafadz “kullu” yang terdapat pada Hadis “kullu bid’atin dhalalah”. Kelompok pertama memahami lafadz “kullu” berlaku ‘an muthlak / berlaku umum secara mutlak, sementara kelompok kedua memahami lafadz “kullu” sebagai lafadz ‘am makhshush / lafadz umum yang berlaku khusus. Di samping itu, mereka berbada dalam pemaknaan kata”sanna” dalam Hadis “man sanna sunnatan hasanatan...”. kelompok pertama memahami “sanna” dengan makna “melakukan sesuatu yang sudah pernah ada” , sedangkan kelompok kedua memaknai kata “sanna” dengan pengertian “melakukan sesuatu yang baru yang belum pernah ada sebelumnya
2.      Dari perbedaan pemahaman teks dan metode pengambilan makna yang berbeda pula, maka secara otomatis akan berpengaruh terhadap pemberian batasab konsep bid’ah itu sendiri.
a.       Kelompok pertama memberikan batasan bid’ah dengan;
“Bid’ah adalah segala sesuatu yang baru dalam urusan agama yang tidak ada dasar hukumnya menurut syara’”.
Kelompok pertama ini lebih cenderung tekstual karena setiap sesuatu yang tidak ada dasar / dalil syara’nya dianggap bid’ah. Ukurannya adalah ada tidaknya teks dalil.  
b.      Kelompok kedua mendefinisikan bid’ah dengan;
“Setiap sesuatu yang baru muncul sesudah wafat Rasulullah SAW itu bid’ah”
Kelompok ini memberikan batasan antara bid’ah dhalalah dab bid’ah hasanah. Segala sesuatu yang selaras dengan dalil-dalil sunnah serta kaidah-kaidah yang berlaku atau ketentuan yang didasarkan pada kaidah qiyas (mengqiyaskan dengan sesuatu yang selaras dengan dalil sunnah dan kaidah yang berlaku), maka itu bid’ah hasanah. Sedangkan bid’ah yang tidak selaras dengannya (dalil-dalil sunnah serta kaidah-kaidah yang berlaku), maka disebut bid’ah sayyi-ah dan sesat.
Dari dua definisi di atas, bila kita pahami bahwa definisi kedua memaksudkan semua perbuatan yang diciptakan sesudah Rasulullah wafat, sedangkan Rosul tidak melakukannya, baik dalam urusan ibadah maupun selain ibadah adalah bid’ah. Yang menjadi ukuran adalah substansi dari perbuatan baru itu apakah bertentangan atau tidak dengan dalil syara’, tanpa membedakan apakah urusan ibadah atau tidak. Artinya, ketika urusan ibadah maupun selain ibadah itu bertentangan dengan dalil syara’, maka itu bid’ah. Sedang definisi pertama membatasi bid’ah hanya ada dalam masalah agama (al-diin).
Oleh karena itu kedua kelompok di atas berbeda dalam memberikan definisi dan batasan tentang bid’ah, bahkan mereka juga berbeda dalam hal metode memahami dalil, masing-masing memberikan argumen berupa dalil Al-Qur’an maupun Hadis, maka sudah dapat dipastikan dua pendapat ini sampai kapan pun tidak akan pernah bisa bersatu. Yang ada hanyalah sepakat dalam perbedaan. Tidak perlu saling menyalahkan dan merasa paling benar.

     I.              TEMA  : PENYAKIT HATI

  II.               TELAAH

A.    ALASAN PEMILIHAN JUDUL
Manusia modern dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari kehidupan yang hedonis, kapasitas, dan liberal. Oleh karena itu, orang sering tidak mampu mengatasi masalah-masalah yang dihadapi sehingga menimbulkan ketegangan atu stres yang memicu munculnya berbagai penderitaan. Secara kejiwaan, mereka juga dipenuhi rasa gelisah dan khawatir. Penyakit hati merupakan penyakit yang berbahaya, yang tidak mudah untuk dideteksi sehingga ibnu taimiyah dalam mengonsep penyakit hati layak untuk dikaji lebih lanjut. Hubungannya dengan dakwah, khususnya bimbingan dan konseling islam, bisa dilihat dari upaya yang dilakukan oleh ibnu Taimiyah dengan memberikan bimbingan pada tingkat wacana kepada individu untuk terhindar dari rasa dengki,iri, sombong, dan suka mencela yang kesemuanya akan mendatangkan kerugian bagi dirinya sendiri. Dakwah sama sekali bukan hanya kegiatan mimbar untuk mengindoktrinasi sesama tentang kandungan ajaran suci, melainkan mentransformasib (secara individual dan masyrakat) dari realitas yang memalingkan diri dari fitrahnya. Dalam perspektif inilah bimbingan konseling islam menjadi varian penting dalam dakwah kontemporer untuk menyelamatkan manusia modern dari keterbelengguan ruinitas kehidupan kapitalis hedonis yang memicu penyakit hati yang mengakibatkan kebinasaan antara sesama manusia dan peradapan.

B.     SUBSTANSI JURNAL
1.      Penyakit Hati Menurut Ibnu Taimiyah
Penyakit hati menurut Ibnu Taimiyah adalah suatu bentuk kerusakan yang menimpa hati, yang berakibat dengan tidak mampunya hati untuk melihat kebenaran yang bermanfaat dan menyukai kebatilan yang membawa kepada kemudharatan. Penyakit yang di dalam hati, seperti kemarahan, keraguan dan kebodohan, serta kezaliman. Akan tetapi, fokus kajian Ibnu Taimiyah tentang penyakit hati adalah hasud atau iri ataupun dengki.
2.      Pengobatan penyakit Hati Menurut Ibnu Taimiyah
Ada tiga hal yang yang dapat dijadikan sebagai obat hati, yaitu al-Quran, amal saleh, dan meninggalkan maksiat.
a.       Al-Quran adalah penyembuh bagi penyakit hati yang berada di dalam dada dan bagi orang yang dalam hatinya ada penyakit keraguan dan syahwat. Di dalamnya terdapat keterangan-keterangan yang menghilangkan kebatilan dan syubhat yang dapat merusak ilmu, pemahaman dan kesadaran hingga segala sesuatu secara hakiki. Di dalamnya terdapat hikmah dan nasehat yang yang baik, seperti dorongan berbuat baik, ancaman dan kisah-kisah yang di dalamnya terdapat pelajaran yang berpengaruh pada sehatnya hati. Hati akan menjadi cinta pada hal yang bermanfaat dan benci kepada kesesatan. Dengan al-Quran, hati dan kehendak menjadi sehat serta kembali kepada fitrahnya sebagaimana kembalinya badan pada keadaan yang semula, yaitu nilai-nilai keimanan dan al-Quran yang membawanya kepada kesucian dan menolongnya untuk melakukan perbuatan baik.
b.      Amal saleh sebagai oabat hati. Menurutnya hati membutuhkan pemeliharaan supaya dapat berkembang dan bertambah baik menuju kesempurnaan dan kebaikan. Badan tidak akan dapat berkembang dengan baik tanpa memberinya hal yang bermanfaat dan mencegahnya dari hal-hal yang memudaratkanya. Oleh, karena itu, tatkala sedekah dapat menghapus kesalahan sebagaimana air dapat memadamkan api, maka perbuatan baik dapat mensucikan hati dari dosa, sesuai dengan QS at-taubah/9:103.
c.    Meninggalkan maksiat sebagai obat penyakit hati. Apabila bila telah bertobat dari dosa-dosa , seolah-olah ia telah mensucikan dari segala hal buruk. Maka, apabila hati telah bertobat dari segala dosa, maka akan kembalilah kekuatan hati dan siap untuk menjalankan amalan baik, disamping juga meninggalkan dari segala hal yang sifatnya buruk.
Dari deskripsi diatas, menurut Wahib Mu’thi, konsep pengobatan penyakit hati yang tiga tersebut dapat diperinci menjadi beberapa varian, yaitu benar dan ikhlas, taubat, zuhud, wara, sabar, syukur, tawakal, rela kepada Allah, takut, dan mengharap.
3.      Pengobatan Hati Dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islam
Dalam taraf apliakatif, pengobatan penyakit hati Ibnu Taimiyah dalam Perspektif BKI dapat diformulasikan dalam beberapa bentuk bimbingan  sebagai berikut:
a.       Bimbingan dengan Cara Mendidik Hati
Dari empat unsur ruhani, hati merupakan hal yang paling penting. Hatilah yang dapat menembus ruang dan waktu, merasa, berdialog, berinteraksi dengan siapapun, termasuk dengan Tuhan.
b.      Bimbingan dengan Cara Mengenal Macam-macam Hati
Ada tiga macam kondisi hati manusia yang bisa ditawarkan dalam proses bimbingan, yaitu:
1)      Hati yang sehat dan bisa menjadi selamat, ini yang dijanjikan akan bertemu Allah.
2)      Hati yang mati, yang telah mengeras dan membatu karena banyak kerak akibat dosa-dosayang dilakukan,
3)      Hati yang sakit, yang di dalamnya ada iman, ada ibadah ada pahala, tetapi juga da kemaksiatan dan dosa-dosa baik kecil maupun besar.
4.      Kelebihan Dan Kekurangan Konsep Pengobatan Penyakit Hati Menurut Ibnu Taimiyah
Kelebihan dari pemikiran pengobatan penyakit hati menurut Ibnu taimiyah adalah upayanua untuk mengaktualisasikan tasawuf dalam lingkup kemsyarakatan. Kekurangan pengonatan penyakit hati menurut Ibnu Taimiyah terletak pada berhentinya wacana tersebut pada daratan teoritis dan belum menyentuh pada wilayah aplikatif.
5.      Implementasi Konsep Pengobatan Penyakit Hati Menurut Ibnu Taimiyah dalam Realitas Dakwah
Dari dimensi kerisalahan terdapat dua bidang besar yaitu tabligh dan irsyad. Tabligh adalah penyebarluasan ajaran agama islam dengan menempuh jalur oral, massal, seremonial, bahkan kolosal. Sedangkan irsyad adalah penyebarluasan agama islam yang sangat spesifik di kalangan tertentu. Irsyad ini menampilkan ajakan personal antara pembimbing dan terbimbing. Konsep pengobatan penyakit hati menurut Ibnu Taimiyah dapat diimplementasikan pada individu-individu yang dengan pendekatan model irsyad. Model ini menuntut adanya paket program seperti manajemen hati yang memiliki tujuan  untuk membentuk muslim kaffah sehingga mampu hidup secara bermakna.
6.      Implementasi Konsep Pengobatan Penyakit Hati Menurut Ibnu TAimiyah Dalam Bimbingan Konseling Islam
a.       Sesuai dengan pengertian bimbingan konseling islam, adalah proses pemberian bantuan kepada individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan Allah sehingga mencapai kebahagiaan Dunia dan akhirat. Dalam proses mencapai kebahagiaan inilah tanpa disertai dengan hati yang sehat seorang tidak akan berhasil.
b.      Sesuai dengan konsep dasar dari BKI yang menempatkan agama sebagai kebutuhan yang fitri. Maka konsep ini tidak menggunakan dasar konseptual selain agama itu sendiri yang bersendikan dari tekstualitas al-Quran dan Hadist.
c.       Sesuai dengan landasan BKI yang menempatkan Al-Quran dan sunnah sebagai otoritas puncak yang berposisi sebadai dalil naqli yang dipadukan dengan dalil aqli yang terdiri dari filsafat dan ilmu. Selaras dengan rancangan konseptual ini yang menjadikan Al-Quran dan Hadist sebagai kajian pokok.
Dari sinilah, konsep pengobatan penyakit hati menurut Ibnu Taimiyah sangat padu untuk dimplementasikan dalam BKI karena memiliki visi dan orientasi yang sama dalam rangka pengembangan kepribadian secara Qur’ani

C.    MANFAAT ISI JURNAL BAGI PERUBAHAN MAHASISWA DAN MASYARAKAT PADA UMUMNYA
1.      Membantu individu mewujudkan dirinya menjadi manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
2.      Membantu individu agar bisa menghadapi masalah
3.      Membantu indivitu untuk mengatasi masalah yang dihadapi
4.      Membimbing individu agar dapat mengembangkan situasi dan kondisi yang baik sehingga tidak menjadi sumber masalah bagi yang lain.

D.    PENUTUP
Dari pembahasan hasil penelitian  ini, dapat disimpulkan bahwa ada tiga hal yang dapat dijadikan sebagai obat penyakit hati, yaitu al-Qur’an, amal saleh, dan meninggalkan maksiat. Menurut Wahib Mu’thi, konsep pengobatan penyakit hati yang tiga tersebut dapat diperinci menjadi beberapa varian, yaitu benar dan ikhlas, taubat, zuhud, wara, sabar, syukur, tawakal, rela kepada Allah, takut dan mengharap. Macam-macam penyakit hati tersebut merupakan sebagian dari apa yang dikemukakan oleh sufi sebagai al-maqomat dan al-akhwal, yaitu tahapan-tahapan dan keadaan-keadaan ruhani dalam mendekatkan diri.


KESIMPULAN DAN SARAN
Dari pembahasan hasil penelitian tentang model pendidikan Luqman Al-Hakim di muka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Dari proses pendidikan yang dilakukan oleh Luqman Al-Hakim kepada anaknya terkandung makna bahwa model pendidikan anak yang ideal adalah berawal dari kehidupan keluarga.
2.      Kedudukan Luqman Al-Hakim sebagai ayah, menunjukan bahwa tanggung jawab pendidikan anak tidak semata dibebankan kepada Ibu.
3.      Ada relevansi antar proses pendidikan yang tyerjadi dalam keluarga dan masyarakat.
4.      Ada tiga hal mendasar yang menjadi perhatian poko dalam model pendidikan Luqman Al-Hakim yaitu:
a.       Keyakinan keagamanan. Aspek ini diperlihatkan dalam ajarannya tentang tauhid,. Kesadaran akan kemakhlukan dan berimplikasi mensyukuri karunia Allah. Kesadaran bahwa segala perbuatan manusia tidak lepas dari pengawasan Allah, dan keharusan mendirikan sholat.
b.      Kesadaran moral. Aspek ini diperlihatkan dalam ajarannya untuk menegakkan hal-hal yang ma’ruf dan mencegah hal-hal yang munkar, serta keberanian untuk menanggung resiko dalam urusannya amar ma’ruf dan nahi munkar.
c.       Tanggung jawab sosial. Aspek ini ditunjukkan dalam ajaran untuk berbuat baik kepada orang lain, lebih kepada yang berjasa, yaitu orang tua, bergaul secara baik walaupun dengan orang yang berlainan keyakinan, dan tidak berlagak sombong dan angkuh kepada orang lain.
Dari pembahasan hasil penelitian ini dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:
1.      Diharapkan orang tua hendaknya tidak melepaskan tanggung jawab untuk melakukan proses pendidikan secara sungguh-sungguh dalam dalam lingkungan keluarganya. Tidak semata memindah tanggung jawab pendidikan kepada berbagai lembaga pendidikan. Adanya dekadensi moral yang manpak dewasa ini, kemungkinan berawal dari tidak berfungsinya keluarga sebagai basis pendidikan,
2.      Lembaga-lembaga pendidikan atau guru hendaknya tidak semata mengajar penyampaian materi pelajaran sesuai target kurikulum dengan melupakan pembinaan kepentingan spiritual peserta didik. Karena kepincangan ini akan berakibat buruk bagi pembentukan kepribadian anak,
3.      Lembaga pendidikan atau guru tidak hanya mengantarkan anak didik naik kelas atau bisa masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, melainkan bagaimana ia berperan dalam menjadi peserta didiknya memiliki kesadaran keagamaan, kesadaran moral, dan tanggungjawab sosial.

Dari pembahasan hasil penelitian  ini, dapat disimpulkan bahwa ada tiga hal yang dapat dijadikan sebagai obat penyakit hati, yaitu al-Qur’an, amal saleh, dan meninggalkan maksiat. Menurut Wahib Mu’thi, konsep pengobatan penyakit hati yang tiga tersebut dapat diperinci menjadi beberapa varian, yaitu benar dan ikhlas, taubat, zuhud, wara, sabar, syukur, tawakal, rela kepada Allah, takut dan mengharap. Macam-macam penyakit hati tersebut merupakan sebagian dari apa yang dikemukakan oleh sufi sebagai al-maqomat dan al-akhwal, yaitu tahapan-tahapan dan keadaan-keadaan ruhani dalam mendekatkan diri.

Dari pelacakan data yang peneliti lakukan, ditemukan bebrapa hal yang menjadi kesimpulan penelitian berikut ini.
1.      Dalam hal bid’ah, para ulama terbagi menjadi dua kelompok besar, pertama, kelmpok ulama yang berpegang pada pendapat bahwa semua bid’ah itu sesat. Kelompok ini adalah pendukung kelompok Imam Malik pendiri mazhab Maliki. Kelompok kedua adalah kelompok yang berpegang pada pendapat bahwa bid’ah itu tidak seluruhnya sesat, ada sesat dan tercela/ madzmumah, dan ada yang hasanah dan terpuji / mahmudah. Kelompok kedua ini adalah pendukung Imam Syafi’i ( pendiri mahzab Syafi’i).pengelompokan ini terjadi karena adanya sebab yang melatarbelakangi, yaitu adanya perbedaan pemahaman terhadap keberlakuan lafadz “kullu” yang terdapat pada Hadis “kullu bid’atin dhalalah”. Kelompok pertama memahami lafadz “kullu” berlaku ‘an muthlak / berlaku umum secara mutlak, sementara kelompok kedua memahami lafadz “kullu” sebagai lafadz ‘am makhshush / lafadz umum yang berlaku khusus. Di samping itu, mereka berbada dalam pemaknaan kata”sanna” dalam Hadis “man sanna sunnatan hasanatan...”. kelompok pertama memahami “sanna” dengan makna “melakukan sesuatu yang sudah pernah ada” , sedangkan kelompok kedua memaknai kata “sanna” dengan pengertian “melakukan sesuatu yang baru yang belum pernah ada sebelumnya
2.      Dari perbedaan pemahaman teks dan metode pengambilan makna yang berbeda pula, maka secara otomatis akan berpengaruh terhadap pemberian batasab konsep bid’ah itu sendiri.
a.       Kelompok pertama memberikan batasan bid’ah dengan;
“Bid’ah adalah segala sesuatu yang baru dalam urusan agama yang tidak ada dasar hukumnya menurut syara’”.
Kelompok pertama ini lebih cenderung tekstual karena setiap sesuatu yang tidak ada dasar / dalil syara’nya dianggap bid’ah. Ukurannya adalah ada tidaknya teks dalil.  
b.      Kelompok kedua mendefinisikan bid’ah dengan;
“Setiap sesuatu yang baru muncul sesudah wafat Rasulullah SAW itu bid’ah”
Kelompok ini memberikan batasan antara bid’ah dhalalah dab bid’ah hasanah. Segala sesuatu yang selaras dengan dalil-dalil sunnah serta kaidah-kaidah yang berlaku atau ketentuan yang didasarkan pada kaidah qiyas (mengqiyaskan dengan sesuatu yang selaras dengan dalil sunnah dan kaidah yang berlaku), maka itu bid’ah hasanah. Sedangkan bid’ah yang tidak selaras dengannya (dalil-dalil sunnah serta kaidah-kaidah yang berlaku), maka disebut bid’ah sayyi-ah dan sesat.
Dari dua definisi di atas, bila kita pahami bahwa definisi kedua memaksudkan semua perbuatan yang diciptakan sesudah Rasulullah wafat, sedangkan Rosul tidak melakukannya, baik dalam urusan ibadah maupun selain ibadah adalah bid’ah. Yang menjadi ukuran adalah substansi dari perbuatan baru itu apakah bertentangan atau tidak dengan dalil syara’, tanpa membedakan apakah urusan ibadah atau tidak. Artinya, ketika urusan ibadah maupun selain ibadah itu bertentangan dengan dalil syara’, maka itu bid’ah. Sedang definisi pertama membatasi bid’ah hanya ada dalam masalah agama (al-diin).
Oleh karena itu kedua kelompok di atas berbeda dalam memberikan definisi dan batasan tentang bid’ah, bahkan mereka juga berbeda dalam hal metode memahami dalil, masing-masing memberikan argumen berupa dalil Al-Qur’an maupun Hadis, maka sudah dapat dipastikan dua pendapat ini sampai kapan pun tidak akan pernah bisa bersatu. Yang ada hanyalah sepakat dalam perbedaan. Tidak perlu saling menyalahkan dan merasa paling benar.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar