BAB I
PENDAHULUAN
Pencernaan adalah
proses perubahan berbagai senyawa kompleks (misalnya polisakarida, protein,
lemak) menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana (sari-sari makanan)
sehingga mudah diserap oleh dinding usus dan kemudia sari-sari makanan ini akan
diedarkan ke seluruh tubuh. Pencernaan ini dilakukan oleh enzim di dalam tubuh.
Protein merupakan komponen utama sel hewan dan manusia yang berfungsi sebagai
zat utama dalam pembentukan dan pertumbuhan tubuh. Lemak adalah senyawa yang tidak larut dalam
air sehingga dapat dipisahkan dari sel dan jaringan dengan pelarut lemak,
misalnya eter, khloroform, benzena, aseton panas, karbotetraklorida, xilena dan
alkohol panas. Tujuan dari praktikum biokimia dasar yang
mengenai pencernaan karbohidrat, pencernaan protein, pencernaan lemak dan
penentuan kadar asam total yaitu untuk mengetahui daya amilolitis amylase
saliva. Mengetahui pencernaan amilum masak oleh ekstrak pancreas dan asam.
Mengetahui proses hidrolisis protein oleh pepsin dan enzim-enzim proteolitik
pancreas. Mengetahuibpencernaan lemak oleh ekstrak pancreas dan mengetahui cara
pengujian kadar asam total pada susu, yoghurt, tape dan ubi kayu kukus. Manfaat dari praktikum adalah agar mahasiswa dapat mengetahui perbedaan antara proses pencernaan
karbohidrat, pencernaan protein dan pencernaan lemak. Mengetahui enzim-enzim
yang berperan dalam masing-masing pencernaan tersebut. Serta
mengetahui secara langsung kadar asam total pada suatu bahan tertentu.
BAB
II
MATERI
DAN METODE
Praktikum Biokimia Dasar yaitu
Pencernaan Karbohidrat, Pencernaan Protein, Pencernaan Lemak, dan Penentuan
Kadar Asam Total dilaksanakan pada hari Minggu, tanggal 14 April 2013 pukul
07.00-10.00 WIB. Praktikum
dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Biokimia Ternak, Fakultas Peternakan
dan Pertanian, Universitas
Diponegoro, Semarang.
1.
2.
2.1.
Materi
Alat yang digunakan pada praktikum Pencernaan
Karbohidrat, Pencernaan Protein, Pencernaan Lemak, dan Penentuan Kadar Asam
Total adalah tabung reaksi berfungsi sebagai tempat larutan.
Rak tabung reaksi berfungsi sebagai tempat tabung reaksi. Gelas ukur dan gelas
beker untuk menampung bahan. Lampu bunsen berfungsi sebagai tempat pemanas larutan.
Penjepit digunakan
untuk menjepit tabung reaksi saat dipanaskan di lampu bunsen. Inkubator berfungsi
sebagai tempat penghangat bersuhu 37oC, dan pipet tetes
berfungsi untuk mengambil larutan dalam jumlah sedikit. Pisau berfungsi
untuk memotong putih telur tipis-tipis. Buret yang digunakan untuk
menitrasi larutan NaOH dengan susu segar, yoghurt, tape dan ubi kayu
rebus. Penjepit atau statif sebagai
tempat memasang tabung buret. Klem untuk menempatkan buret,
erlenmeyer 100 ml berfungsi sebagai tempat mencampur larutan NaOH dengan reagen
yang telah ditetesi dengan indikator fenolflatein. Labu ukur 250 ml berfungsi sebagai tempat mengencerkan
larutan dengan reagen. Sedangkan labu ukur 100 ml sebagai tempat mengencerkan
larutan susu. Pipet volume 10
ml untuk mengambil larutan
sebesar 10 ml yoghurt. Pipet
tetes untuk menambah dan mengurangi
larutan dalam jumlah sedikit, pengaduk magnetik berfungsi sebagai alat untuk
menghomogenkan bahan tape dan ubi kayu menjadi larutan. Bahan yang digunakan adalah larutan amilum 1%
yang telah dimasak, larutan lugol, larutan HCl 0,1 N, larutan NaOH, larutan NaCl
0,1%, saliva, ekstrak pankreas, potongan gumpalan putih telur, aquades, larutan pepsin, minyak goreng,
cairan empedu, susu segar, yoghurt, ubi kayu kukus,
tape singkong, dan larutan PP 1%.
2.2. Metode
2.2.1.
Pencernaan Karbohidrat
Pada Praktikum pencernaan
karbohidrat menggunakan empat metode yaitu pengumpulan saliva, percobaan
saliva, pencernaan amilum masak oleh ekstrak pankreas, pencernaan amilum masak
oleh asam.
1.
2.
3.
3.1.
3.2.
3.2.1.
Pengumpulan Saliva, metode yang dilakukan adalah
berkumur dengan air yang bersih untuk membersihkan mulut. Membuang air kumur.
Mengambil 20 ml NaCl 0,1% dan berkumur paling sedikit satu menit. Air kumuran
ditampung pada gelas beker dan disaring untuk menghilangkan sel-sel epitel
rongga mulut dan kotoran-kotoran lainnya.
Percobaan
Saliva, metode praktikum Pencernaan yang dilakukan adalah
menyiapkan 4 tabung reaksi yang sudah steril yang sudah diberi label nomor dan mengisi
masing-masing tabung. Dengan ketentuan Tabung 1 diisi dengan 5 ml saliva
ditambah 5 ml larutan amilum 1% masak. Tabung 2 diisi 5 ml saliva yang
dididihkan, setelah dingin ditambah 5 ml larutan amilum 1% masak. Tabung 3
diisi 5 ml saliva dengan 5 tetes HCl 0,1 N ditambah 5 ml larutan amilum 1%
masak. Tabung 4 diisi 5 ml larutan amilum masak 1% tanpa ditambah saliva.
Setelah semua tabung reaksi sudah siap, kemudian memasukkan keempat tabung
tersebut ke dalam inkubator yang bersuhu 37oC. Setiap 15 menit
diambil 2 tetes dan masing-masing tabung reaksi dan melakukan uji iod dengan
menggunakan larutan lugol 2 tetes hingga 15 menit ketiga.
Pencernaan
Amilum Masak oleh Ekstrak Pankreas, metode praktikum yang dilakukan adalah
menyiapkan 3 tabung reaksi yang sudah steril yang sudah diberi label nomor dan
mengisi masing-masing tabung. Dengan ketentuan Tabung 5 diisi dengan 5 tetes pankreas
ditambah 5 ml larutan amilum 1% masak. Tabung 6 diisi 5 tetes pankreas dengan 5
tetes HCl 0,1N ditambah 5 ml larutan amilum 1% masak. Tabung 7 diisi 5 tetes
pankreas dengan 5 tetes NaOH 0,1N dan ditambah 5 ml larutan amilum 1% masak.
Setelah semua tabung reaksi sudah siap, kemudian memasukkan ketiga tabung
tersebut ke dalam inkubator yang bersuhu 37oC. Setiap 15 menit
diambil 2 tetes dan masing-masing tabung reaksi dan melakukan uji iod dengan
menggunakan larutan lugol 2 tetes hingga 15 menit ketiga.
Pencernaan Amilum Masak oleh Asam, metode praktikum yang dilakukan adalah menyiapkan 2 tabung reaksi
yang sudah steril yang sudah diberi label nomor dan mengisi masing-masing
tabung. Dengan ketentuan Tabung 8 diisi dengan 1 ml larutan HCl 0,1 N ditambah
5 ml larutan amilum 1% masak. Kemudian memasukkan ketiga tabung tersebut ke
dalam incubator yang bersuhu 37oC.
Tabung 9 diisi 5 tetes pancreas dengan 1 ml HCl 0,1 N ditambah 5 ml larutan amilum 1% masak tanpa
dimasukkan ke dalam inkubator. Setelah semua tabung reaksi sudah siap, Setiap
15 menit diambil 2 tetes dan masing-masing tabung reaksi dan melakukan uji iod
dengan menggunakan larutan lugol 2 tetes hingga 15 menit ketiga.
2.2.2.
Pencernaan Protein
Pada Praktikum Biokimia
Dasar pada Pencernaan Protein, metode yang digunakan antara lain meliputi uji pencernaan
protein oleh pepsin dan pencernaan protein oleh pankreas.
3.2.2.
Pencernaan
Protein oleh Pepsin, metode yang dilakukan adalah dengan cara menyiapkan 3 tabung reaksi yang steril
yang sudah diberi label nomor dan mengisi masing-masing tabung. Dengan
ketentuan Tabung 1 diisi dengan 5 tetes larutan pepsin ditambah 5 tetes larutan
HCl 0,1 N dan memasukkan potongan tipis putih telur. Tabung 2 diisi dengan 5 tetes
larutan pepsin ditambah 5 tetes air dan memasukkan potongan tipis putih telur.
Tabung 3 diisi dengan 5 tetes larutan pepsin yang sudah dididihkan, setelah
dingin ditambah 5 tetes larutan HCl 0,1 N dan memasukkan potongan tipis putih
telur. Setelah semua tabung reaksi sudah siap, kemudian memasukkan ketiga
tabung tersebut ke dalam inkubator yang bersuhu 37oC. Setiap 30
menit diambil diambil dan diamati dengan cermat perubahan yang terjadi.
Pencernaan protein putih telur terlihat dengan hancurnya potongan putih
telur yang biasanya terlihat keruh.
Mengamati hingga 30 menit kedua.
Pencernaan
Protein oleh Pankreas, metode yang dilakukan adalah dengan cara menyiapkan 3 tabung reaksi yang
steril yang sudah diberi label nomor dan mengisi masing-masing tabung. Dengan
ketentuan Tabung 4 diisi dengan 2 ml larutan ekstrak pancreas ditambah 5 tetes
larutan HCl 0,1N dan memasukkan potongan tipis putih telur. Tabung 5 diisi
dengan 2 ml larutan ekstrak pankreas ditambah 5 tetes larutan NaOH 0, 1 N dan
memasukkan potongan tipis putih telur. Tabung 6 diisi dengan 2 ml larutan
pepsin yang sudah dididihkan, setelah dingin ditambah 5 tetes larutan NaOH 0,1 N
dan memasukkan potongan tipis putih telur. Setelah semua tabung reaksi sudah
siap, kemudian memasukkan ketiga tabung tersebut ke dalam inkubator yang
bersuhu 37oC. Setiap 30 menit diambil diambil dan diamati dengan
cermat perubahan yang terjadi. Pencernaan protein putih telur terlihat dengan
hancurnya potongan putih telur yang
biasanya terlihat keruh. Mengamati hingga 30 menit kedua.
2.2.3.
Pencernaan Lemak
Pada Praktikum Biokimia Dasar pada
percobaan pencernaan lemak metode yang digunakan adalah pencernaan lemak oleh
pankreas. Metode yang dilakukan adalah dengan cara menyiapkan 3 tabung reaksi
yang steril yang sudah diberi label nomor dan mengisi masing-masing tabung.
Dengan ketentuan Tabung 1 diisi dengan 2 ml minyak goreng ditambah 5 tetes
ekstrak pancreas. Tabung 2 diisi dengan 2 ml minyak goreng ditambah 5 tetes
larutan ekstrak pankreas dan 3 tetes cairan empedu. Tabung 3 diisi dengan 2 ml minyak
goreng ditambah 1ml air. Setelah semua tabung reaksi sudah siap, kemudian
memasukkan ketiga tabung tersebut ke dalam inkubator yang bersuhu 37oC
selama 60 menit, kemudian masing-masing tabung reaksi ditambah 5 tetes larutan
PP 1%. Selanjutnya masing-masing tabung reaksi ditetesi dengan larutan NaOH 0,1
N sampai merah muda. Pencernaan lemak terjadi apabila lemak dihidrolisis
menjadi asam lemak dan gliserol, semakin banyak asam lemak yang dibebaskan,
maka semakin banyak larutan NaOH yang dibutuhkan.
3.2.3.
2.2.4.
Penentuan Kadar Asam Total pada Susu, Yoghurt, Tape dan Ubi Kayu
Pada Praktikum Biokimia Dasar pada
percobaan penentuan kadar asam total pada susu, yoghurt, tape dan ubi kayu. Metode
yang digunakan antara lain meliputi penentuan kadar asam laktat pada susu,
penentuan kadar asam laktat pada yoghurt, penentuan kadar asam asetat pada tape
singkong dan penentuan kadar asam asetat pada ubi kayu kukus.
3.2.4.
Penentuan Kadar Asam Laktat pada
Susu Segar, metode yang dilakukan adalah memasukkan 10 ml susu segar ke dalam
gelas erlenmeyer, kemudian ditambah 3 tetes larutan PP 1%. Melakukan titrasi
dengan larutan NaOH 0,0975 N yang sudah distandarisasi oleh asam oksalat.
Sampai titik akhir titrasi berwarna merah muda. Mengulangi titrasi tersebut
sebanyak 2 kali, kemudian volume NaOH yang tercatat dirata-rata. Menghitung
kadar asam total pada susu segar.
Penentuan Kadar
Asam Laktat pada Yoghurt, metode yang dilakukan adalah memasukkan 10 ml yoghurt
yang sudah diencerkan ke dalam gelas erlenmeyer, kemudian ditambah 3 tetes
larutan PP 1%. Melakukan titrasi dengan larutan NaOH 0,0975 N yang sudah
distandarisasi oleh asam oksalat. Sampai titik akhir titrasi berwarna merah
muda. Mengulangi titrasi tersebut sebanyak 2 kali, kemudian volume NaOH yang
tercatat dirata-rata. Menghitung kadar asam total pada yoghurt.
Penentuan Kadar Asam Asetat pada
Tape Singkong, metode yang dilakukan adalah menimbang 25g kemudian memasukkan
ke dalam labu ukur 250ml, menambahkan air sampai tanda tera dan menghomogenkan
dengan menggunakan pengaduk magnetik. Menyarung dengan kapas dan fitratnya
dikumpulkan. Memasukkan 10 ml filtrate ke dalam gelas erlenmeyer, kemudian
ditambah 3 tetes larutan PP 1%. Melakukan titrasi dengan larutan NaOH 0,0975 N
yang sudah distandarisasi oleh asam oksalat. Sampai titik akhir titrasi
berwarna merah muda. Mengulangi titrasi tersebut sebanyak 2 kali, kemudian
volume NaOH yang tercatat dirata-rata. Menghitung kadar asam total pada tape
singkong.
Penentuan Kadar
Asam Asetat pada Ubi Kayu Kukus, metode yang dilakukan adalah menimbang 25 g
kemudian memasukkan ke dalam labu ukur 250 ml, menambahkan air sampai tanda
tera dan menghomogenkan dengan menggunakan pengaduk magnetik. Menyarung dengan
kapas dan fitratnya dikumpulkan. Memasukkan 10 ml filtrate ke dalam gelas
erlenmeyer, kemudian ditambah 3 tetes larutan PP 1%. Melakukan titrasi dengan
larutan NaOH 0,0975 N yang sudah distandarisasi oleh asam oksalat. Sampai titik
akhir titrasi berwarna merah muda. Mengulangi titrasi tersebut sebanyak 2 kali,
kemudian volume NaOH yang tercatat dirata-rata. Menghitung kadar asam total
pada ubi kayu kukus.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Pencernaan Karbohidrat
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, hasil yang diperoleh dari percobaan saliva pada pengamatan 15 menit pertama,
kedua dan ketiga diperoleh data pada tabel-tabel di bawah ini :
Tabel 1. Pengamatan Percobaan Pencernaan Karbohidrat 15 Menit
Pertama
|
Uji Iod
|
|
Reaksi (+/-)
|
Perubahan Warna
|
Tabung 1
|
+
|
Merah Muda
|
Tabung 2
|
-
|
Biru Kehitaman
|
Tabung 3
|
-
|
Biru Kehitaman
|
Tabung 4
|
-
|
Biru Kehitaman
|
Tabung 5
|
+
|
Merah Muda
|
Tabung 6
|
-
|
Biru Kehitaman
|
Tabung 7
|
+
|
Merah Muda
|
Tabung 8
|
+
|
Merah
|
Tabung 9
|
-
|
Biru Kehitaman
|
Sumber : Data Primer Praktikum Biokimia Dasar, 2013
Berdasarkan percobaan didapatkan hasil
bahwa pada 15 menit pertama di tabung 1
saliva yang ditambahkan amilum masak, kemudian dipanaskan hingga suhu 37oC
setelah itu ditambahkan iodium maka akan mendapatkan hasil positif, yaitu
membentuk warna merah muda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Iswari dan Ari
(2006) yang menyatakan bahwa amilum yang terhidrolisis akan membentuk salah
satunya eritrodekstrin yang dengan iodium tersebut akan menghasilkan warna merah.
Pada tabung 2 diisi dengan 5 tetes saliva yang didihkan, setelah
dingin ditambahkan 5 tetes larutan amilum 1%. Kemudian dimasukkan ke inkubator
pada suhu 370C, menghasilkan warna hitam karena saliva yang didihkan
menyebabkan amilase rusak sehingga tidak bisa tercerna. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Martoharsono (2006) yang menyatakan bahwa sebagian besar
molekul menampakkan aktifitas pada kisaran pH dan suhu tertentu. Pada
tabung 3 dan 6 menghasilkan uji yang
negatif dan tidak membentuk warna ungu maupun merah, dikarenakan bahwa larutan
amilum yang ditambahkan HCl yang bersifat asam dan tidak ditambahkan dengan
saliva maka amilum tidak bisa tercerna, karena amilum bisa tercerna jika pada
keadaan basa. Keadaan asam membuat amilum tidak bisa tercerna. Hal ini sesuai
dengan pendapat Sumardjo (2008) yang menyatakan bahwa ptialin akan
terinaktivasi karena suasana asam, sehingga karbohidrat akan susah dicerna dan
proses hidrolisis akan berlangsung lambat. Tabung 4 diisi 5 tetes
larutan amilum masak 1 % tanpa saliva menghasilkan reaksi yang negatif karena
tidak mengandung basa. Hal ini sesuai dengan pendapat Lehninger (1994) yang
menyatakan bahwa amilum akan tercerna pada pH basa. Tabung 5 diisi dengan 5
tetes pankreas ditambah amilum masak menghasilkan reaksi positif. Hal ini
sesuai dengan pendapat Lehninger (1994)
yang menyatakan bahwa penguraian amilum akan terjadi dan berlangsung terus
disempurnakan oleh kerja pankreatik amilase. Tabung 7 amilum
yang ditambahkan dengan 5 tetes pankreazim maupun yang ditambahkan NaOH akan
menunjukkan hasil yang positif yaitu dengan membentuk warna agak kemerahan dan
sedikit keunguan. Tabung 8 amilum yang
ditambahkan HCl dan kemudian dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu 37oC
akan menunjukkan hasil yang positif karena asam akan rusak jika dipanaskan. Hal
ini sesuai dengan pendapat Lehninger (1994) yang menyatakan bahwa amilum akan
tercerna pada pH basa. Pada tabung 9, amilum masak yang ditambahkan dengan HCl
dan tidak dimasukkan kedalam inkubator tidak akan bereaksi positif karena
amilum tersebut tidak bisa tercerna dengan adanya asam. Hal ini sesuai dengan
pendapat Martoharsono (1994) yang menyatakan bahwa enzim ptialin mampu mencerna
pati menjadi dekstrin dan maltose pada suasana basa dan tidak aktif pada
suasana asam.
Tabel 2. Pengamatan Percobaan Pencernaan Karbohidrat 15 Menit Kedua
|
Uji Iod
|
|
Reaksi (+/-)
|
Perubahan Warna
|
Tabung 1
|
-
|
Coklat
|
Tabung 2
|
-
|
Hijau kekuningan
|
Tabung 3
|
-
|
Biru Kehitaman
|
Tabung 4
|
-
|
Biru Kehitaman
|
Tabung 5
|
+
|
Ungu
|
Tabung 6
|
-
|
Ungu Kehitaman
|
Tabung 7
|
-
|
Coklat
|
Tabung 8
|
+
|
Merah
|
Tabung 9
|
-
|
Biru
|
Sumber : Data Primer Praktikum Biokimia Dasar, 2013
Berdasarkan
percobaan didapatkan hasil bahwa pada tabung 1 saliva yang ditambahkan amilum
masak, kemudian dipanaskan hingga suhu 37oC setelah itu ditambahkan
iodium maka akan mendapatkan hasil positif, yaitu membentuk warna merah muda.
Tetapi karena pada saat berkumur kurang dari satu menit, sehingga saliva yang
tercampur dalam larutan NaCl hanya sedikit dan menghasilkan reaksi yang
negatif. Pencernaan karbohidrat pertama dari mulut dimana makanan bercampur dengan
ptialin, enzim yang dihasilkan kelenjar saliva. Kemudian ke lambung, usus halus
terus mencerna patidan dekstrin menjadi dekstrin sederhana dan maltosa
(Anggorodi, 1979). Pada tabung 2 diisi dengan 5 tetes saliva yang didihkan,
setelah dingin ditambahkan 5 tetes larutan amilum 1%. Kemudian dimasukkan ke
inkubator pada suhu 370C, menghasilkan warna hitam karena saliva yang didihkan
menyebabkan amilase rusak sehingga tidak bisa tercerna. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Martoharsono (2006) yang menyatakan bahwa sebagian besar molekul menampakkan aktifitas pada kisaran pH dan suhu tertentu. Pada
tabung 3 dan 6 menghasilkan uji yang
negatif dan tidak membentuk warna ungu maupun merah, dikarenakan bahwa larutan
amilum yang ditambahkan HCl yang bersifat asam dan tidak ditambahkan dengan
saliva maka amilum tidak bisa tercerna, karena amilum bisa tercerna jika pada
keadaan basa. Keadaan asam membuat amilum tidak bisa tercerna. Hal ini sesuai
dengan pendapat Sumardjo (2008) yang menyatakan bahwa ptialin akan
terinaktivasi karena suasana asam, sehingga karbohidrat akan susah dicerna dan
proses hidrolisis akan berlangsung lambat. Tabung 4 diisi 5 tetes
larutan amilum masak 1 % tanpa saliva menghasilkan reaksi yang negatif karena
tidak mengandung basa. Hal ini sesuai dengan pendapat Lehninger (1994) yang
menyatakan bahwa amilum akan tercerna pada pH basa. Tabung 5 diisi dengan 5
tetes pankreas ditambah amilum masak menghasilkan reaksi positif. Hal ini
sesuai dengan pendapat Lehninger (1994) yang menyatakan bahwa penguraian amilum
akan terjadi dan berlangsung terus disempurnakan oleh kerja pankreatik amilase.
Tabung
7 amilum yang ditambahkan dengan 5 tetes pankreazim maupun yang ditambahkan
NaOH akan menunjukkan hasil yang positif yaitu dengan membentuk warna agak
kemerahan dan sedikit keunguan. Tabung 8 amilum yang ditambahkan HCl dan kemudian
dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu 37oC akan menunjukkan
hasil yang positif karena asam akan rusak jika dipanaskan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Lehninger (1994) yang menyatakan bahwa amilum akan tercerna
pada pH basa. Pada tabung 9, amilum masak yang ditambahkan dengan HCl dan tidak
dimasukkan kedalam inkubator tidak akan bereaksi positif karena amilum tersebut
tidak bisa tercerna dengan adanya asam. Hal ini sesuai dengan pendapat
Martoharsono (1994) yang menyatakan bahwa enzim ptialin mampu mencerna pati
menjadi dekstrin dan maltose pada suasana basa dan tidak aktif pada suasana
asam karena asam.
Tabel 3. Pengamatan Percobaan Pencernaan Karbohidrat 15 Menit
Ketiga
|
Uji Iod
|
|
Reaksi (+/-)
|
Perubahan Warna
|
Tabung 1
|
-
|
Biru Kehitaman
|
Tabung 2
|
-
|
Hitam
|
Tabung 3
|
-
|
Coklat Matang
|
Tabung 4
|
-
|
Biru Kehitaman
|
Tabung 5
|
+
|
Orange Kemerahan
|
Tabung 6
|
-
|
Biru Pekat
|
Tabung 7
|
+
|
Ungu Kehitaman
|
Tabung 8
|
+
|
Merah
|
Tabung 9
|
-
|
Biru Kehitaman
|
Sumber : Data Primer Praktikum Biokimia Dasar, 2013
Berdasarkan
percobaan didapatkan hasil bahwa pada tabung 1 saliva yang ditambahkan amilum
masak, kemudian dipanaskan hingga suhu 37oC setelah itu ditambahkan
iodium maka akan mendapatkan hasil positif, yaitu membentuk warna merah muda.
Tetapi karena pada saat berkumur kurang dari satu menit, sehingga saliva yang
tercampur dalam larutan NaCl hanya sedikit dan menghasilkan reaksi yang
negatif. Pencernaan karbohidrat pertama dari mulut dimana makanan bercampur dengan ptialin, enzim yang
dihasilkan kelenjar saliva. Kemudian ke lambung, usus halus terus
mencerna patidan dekstrin menjadi dekstrin
sederhana dan maltosa (Anggorodi, 1979). Pada tabung 2 diisi dengan 5
tetes saliva yang didihkan, setelah dingin ditambahkan 5 tetes larutan amilum
1%. Kemudian dimasukkan ke inkubator pada suhu 370C, menghasilkan
warna hitam karena saliva yang didihkan menyebabkan amilase rusak sehingga
tidak bisa tercerna. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Martoharsono (2006)
yang menyatakan bahwa sebagian besar molekul menampakkan aktifitas pada kisaran
pH dan suhu tertentu. Pada tabung 3 dan 6 menghasilkan uji yang negatif dan tidak membentuk
warna ungu maupun merah, dikarenakan bahwa larutan amilum yang ditambahkan HCl
yang bersifat asam dan tidak ditambahkan dengan saliva maka amilum tidak bisa
tercerna, karena amilum bisa tercerna jika pada keadaan basa. Keadaan asam membuat
amilum tidak bisa tercerna. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumardjo (2008) yang
menyatakan bahwa ptialin akan terinaktivasi karena suasana asam, sehingga karbohidrat
akan susah dicerna dan proses hidrolisis akan berlangsung lambat. Tabung
4 diisi 5 tetes larutan amilum masak 1 % tanpa saliva menghasilkan reaksi yang
negatif karena tidak mengandung basa. Hal ini sesuai dengan pendapat Lehninger
(1994) yang menyatakan bahwa amilum akan tercerna pada pH basa. Tabung 5 diisi
dengan 5 tetes pankreas ditambah amilum masak menghasilkan reaksi positif. Hal
ini sesuai dengan pendapat Lehninger (1994) yang menyatakan bahwa penguraian
amilum akan terjadi dan berlangsung terus disempurnakan oleh kerja pankreatik
amilase. Tabung 7 amilum yang ditambahkan dengan 5 tetes
pankreazim maupun yang ditambahkan NaOH akan menunjukkan hasil yang positif
yaitu dengan membentuk warna agak kemerahan dan sedikit keunguan. Tabung 8 amilum yang ditambahkan HCl dan kemudian
dimasukkan ke dalam inkubator dengan suhu 37oC akan menunjukkan
hasil yang positif karena asam akan rusak jika dipanaskan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Lehninger (1994) yang menyatakan bahwa amilum akan tercerna
pada pH basa. Pada tabung 9, amilum masak yang ditambahkan dengan HCl dan tidak
dimasukkan kedalam inkubator tidak akan bereaksi positif karena amilum tersebut
tidak bisa tercerna dengan adanya asam. Hal ini sesuai dengan pendapat
Martoharsono (1994) yang menyatakan bahwa enzim ptialin mampu mencerna pati
menjadi dekstrin dan maltose pada suasana basa dan tidak aktif pada suasana
asam karena asam.
3.2. Pengamatan Percobaan Pencernaan Protein
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, hasil yang diperoleh dari pencernaan protein oleh pepsin pada pengamatan 30
menit pertama, kedua diperoleh data pada tabel-tabel di bawah ini :
Tabel 4. Hasil Pengamatan Pencernaan Protein tiap 30 Menit
|
Keadaan Putih Telur
|
|
30 Menit Pertama
|
30 Menit Kedua
|
Tabung 1
|
Agak Hancur
|
Agak Hancur
|
Tabung 2
|
Tidak Hancur
|
Agak Hancur
|
Tabung 3
|
Tidak Hancur
|
Agak Hancur
|
Tabung 4
|
Agak hancur
|
Hancur
|
Tabung 5
|
Hancur
|
Hancur
|
Tabung 6
|
Hancur
|
Hancur
|
Sumber : Data Primer Praktikum Biokimia
Dasar, 2013.
Berdasarkan hasil
pengamatan diperoleh bahwa tabung
pertama yang berisi 1 ml pepsin + 1 ml HCl 0,1 N + putih telur rebus, setelah diinkubasi selama
30 menit dalam suhu 37oC, terjadi lisis karena irisan putih telur
masih terlihat. Terjadi lisis pada putih telur rebus dan larutan menjadi keruh,
karena telur yang hancur. Hal ini terjadi karena pepsin bekerja dalam suasana
asam dengan penambahan HCl yang mengubah pepsinogen menjadi pepsin. Hal ini
sesuai dengan pendapat Murwani (2010) yang menyatakan bahwa dengan adanya
pepsin dan HCl maka protein akan disintesis menjadi polipeptida yang terjadi
pada lambung. Tabung kedua yang berisi 1 ml pepsin + 1 ml air + putih telur
rebus, setelah diinkubasi selama 30 menit dalam suhu 37oC, tidak terjadi
lisis pada putih telur rebus, dan larutan tetap bening. Hal ini menunjukkan
bahwa sampel bereaksi negatif (putih telur
tidak terlarut), tetapi pada 30 menit kedua bisa hancur karena protein
akan terdenaturasi oleh adanya panas. Tabung yang ketiga berisi 1ml pepsin
ditambah 1 ml HCl 0,1 N dan putih telur rebus, kemudian diinkubasi selama 30
menit dalam suhu 37oC, terjadi lisis pada putih telur rebus dan
larutan tetap. Hal ini terjadi karena pada tabung yang ketiga ini larutan
pepsin dididihkan, setelah dingin ditambah dengan HCl dan putih telur rebus,
pepsin akan mengalami kerusakan apabila mengalami pemanasan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Murray (2003) yang menyatakan bahwa sebagian besar enzim
memiliki suhu optimum yang bergantung pada suhu sel tempat enzim itu terdapat
atau sedikit melebihi suhu sel tersebut. Pada saat praktikum yang seharusnya tidak
hancur tetapi hasil yang didapatkan adalah hancur karena pada saat pengeluaran
dari inkubator, tabung tiga digoyangkan sehingga isi tabung terlihat agak
keruh.
Pada tabung keempat, enzim
proteolitik pankreas tidak mampu menghidrolisis protein karena enzim tersebut
ditambahkan asam dari larutan HCl. Hal ini sesuai dengan pendapat Hawab (2004)
yang menyatakan bahwa enzim kerjanya sangat spesifik dan “berdisiplin tinggi”.
Tetapi pada saat pengeluaran tabung dari inkubator, tabung keempat
digoyang-goyangkan sehingga larutan menjadi keruh dan putih telur terlihat agak
hancur. Pada tabung kelima, tidak terlihat lagi irisan putih telur,
karena telah tercerna sempurna seperti pada proses pencernaan manusia pada
lambung, yaitu adanya protein (disini irisan tipis putih telur), ekstrak
pankreas, dan pembawa sifat basa (NaOH 0,1 N), sehingga hasilnya menunjukkan
reaksi yang positif. Hal ini sesuai dengan pendapat Pelczar (1986) yang
menyatakan bahwa kerja enzim dipengaruhi beberapa faktor yaitu suhu, pH dan
substrat. Tabung keenam yang berisi enzim proteolitik pankreas
yang telah dididihkan dengan ditambah 1 ml larutan NaOH. Hasil dari
pengamatannya gumpalan putih
telur tidak mengalami kerusakan karena pengaruh larutan ekstrak pankreas yang
telah dididihkan. Hal
ini sesuai dengan Sastrohamidjojo (2005) yang menyatakan bahwa
perubahan-perubahan mana disebabkan kerena protein peka terhadap panas, tekanan
yang tinggi, alkohol, alkali, urea, KI, asam dan pereaksi-pereaksi tertentu. Selain
itu enzim mengalami kerusakan akibat dipanaskan dan protein tidak terhidrolisis
serta enzim merupakan protein. Sesuai
dengan pendapat Poedjiadi (1994) bahwa enzim adalah suatu protein yang
mempunyai aktifitas biokimiawi. Tetapi pada saat praktikum pemanasan ekstrak
pankreas membentuk busa banyak dan larutan berwarna keruh, sehingga praktikan mengira
putih telur menjadi hancur karena tertutupi oleh larutan yang sangat keruh.
3.3. Pengamatan
Percobaan Pencernaan Lemak
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, hasil yang diperoleh dari pencernaan lemak oleh pankreas diperoleh data
pada tabel 4 di bawah ini :
Tabel 5. Hasil Pengamatan
Percobaan Pencernaan Lemak
|
Jumlah NaOH (tetes)
|
Tabung 1
|
4
|
Tabung 2
|
3
|
Tabung 3
|
1
|
Sumber : Data Primer Praktikum Biokimia
Dasar, 2013.
Berdasarkan hasil
praktikum diperoleh bahwa tabung
pertama menghasilkan 4 tetes NaOH walaupun sudah terdapat ekstrak pankreas
sebagai enzim. Hal ini dikarenakan tidak adanya air dan empedu yang berfungsi
sebagai pengemulsi lemak, jadi partikel lemak menyatu dan enzim pankreas tidak
dapat berkerja. Hal ini sesuai dengan pendapat Montgomery et al., (1993) lipase bekerja pada persinggungan antara air dan molekul
trigliserid, dan absorpsi interfasial enzim merupakan langkah penting dalam
proses katalisis. Pada tabung 2 terjadi pengemulsian dan lemak
tercerna karena terdapat ekstrak pankreas dan empedu. Hal ini menunjukkan bahwa
ekstrak pankreas sebagai enzim yang mencerna partikel-partikel lemak agar dapat
dicerna oleh tubuh, hal ini sesuai dengan pendapat Montgomery et al., (1993) yang menyatakan bahwa
pankreas menghasilkan enzim lipase yang mengkatalisis sebagian trigliserid yang
mengandung asam lemak berantai panjang. Setelah tabung ketiga diberi 1 tetes fenolftalein (PP) warnanya
menjadi merah muda, setelah diinkubasi selama 30 menit menghasilkan warna yang
masih tetap merah muda, hal ini terjadi karena tidak terdapat enzim pankreas
yang berfungsi sebagai pengemulsi lemak. Hal ini sesuai dengan pendapat
Montgomery et al., (1993)
emulsifikasi berguna untuk memasukkan lipid makanan yang sukar larut ke dalam
misel campuran. Perlakuan inkubasi yang diberikan tehadap sampel menunjukkan
bahwa suhu yang sesuai dapat mendukung berlangsungnya hidrolisa lemak sesuai
yang terjadi di dalam tubuh, hal ini sesuai dengan pendapat Sumardjo et al. (2008) yang menyatakan bahwa
hidrolisa lemak dapat berlangsung pada pH 7,5-8,5 dan suhu diantara 36-40°C.
3.4. Penentuan Kadar Asam Total pasa
Susu, Yoghurt, Tape dan Ubi kayu
3.4.1. Penentuan
Kadar Asam Laktat pada Susu segar
Berdasarkan hasil praktikum percobaan kadar asam laktat pada susu segar diperoleh data sebagai berikut :
Tabel 6. Hasil Percobaan Kadar Asam Laktat pada Susu Segar
|
Jumlah NaOH (ml)
|
Titrasi 1
|
2 ml
|
Titrasi 2
|
2 ml
|
Rata-rata
|
2 ml
|
Sumber
: Data Primer Praktikum Biokimia Dasar, 2013.
Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa rata-rata volume NaOH yang dibutuhkan yaitu 2
ml yang diketahui kadar asam laktat 0,175%. Hal menunjukkan
bahwa kadar asam laktat pada susu segar masih sedikit, karena pada susu segar mikroorganisme yang tumbuh masih sedikit dan kandungan laktosa dalam
susu segar belum
sepenuhnya diubah menjadi asam laktat oleh bakteri. Hal
ini sesuai dengan
pendapat Michael (1998) bahwa melalui berbagai penelitian diperoleh hasil
bahwa 1 gr laktosa dapat dibentuk/difermentasi oleh bakteri menjadi 0,8 gr asam
laktat. Hal ini diperkuat
dengan pendapat Budiyanto (2002) yang menambahkan bahwa susu merupakan media yang sesuai untuk pertumbuhan
beberapa mikroorganisme karena banyaknya substrat yang berharga untuk
fermentasi (laktosa) sebagai perangsang pertumbuhan seperti vitamin dan
mineral.
3.4.2. Penentuan
Kadar Asam Laktat pada Yoghurt
Berdasarkan hasil praktikum percobaan kadar asam laktat pada Yoghurt diperoleh data sebagai berikut :
Tabel 7. Hasil Percobaan Kadar Asam Laktat pada Yoghurt
|
Jumlah NaOH (ml)
|
Titrasi 1
|
8 ml
|
Titrasi 2
|
10 ml
|
Rata-rata
|
9 ml
|
Sumber
: Data Primer Praktikum Bioimia Dasar, 2013.
Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa volume rata-rata NaOH
yang dibutuhkan untuk menetralkan kadar asam total yoghurt sebesar 9 ml,
yang diketahui kadar asam laktatnya 0,789%. Ini menunjukkan
bahwa kadar asam laktat pada yoghurt lebih banyak dari susu segar. Hal ini disebabkan karena fermentasi laktosa oleh bakteri yang cukup banyak
karena susu asam disimpan selama 24 jam dalam suhu kamar, sehingga memberikan
cukup waktu bagi mikroba untuk merubah laktosa menjadi asam laktat.
Hal ini sesuai dengan pendapat Michael (1998) yang menambahkan bahwa apabila dibiarka pada
kondisi yang memungkinkan pertumbuhan bakteri, susu mentah dengan mutu
kesehatan yang baik akan bertambahnya
kadar asam laktatnya. Perubahan ini terutama disebabkan karena fermentasi oleh Streptococcus lactis dan Lactobasillus bulgaris. Hal ini diperkuat dengan pendapat Sastrohamidjojo (2005) yang menambahkan bahwa penentuan kadar asam dalam susu dapat ditentukan melalui
titrasi dengan larutan standar. Larutan standar alkali akan sepenuhnya menetralisasi
volume dengan asam yang terkandung dengan kata lain tiap ml dari titran (NaOH)
yang mengandung 4.000 gr dalam 1 L larutan akan menetralisir
1 ml asam
laktat (yang mengandung 9.000 gr dalam 1 L larutan). Pada titrasi II hasil titrasi sebesar 10 ml tidak
memenuhi karena selisih dari titrasi awal terlalu banyak, harusnya tidak
boleh lebih dari 1
ml, percobaan ini memang sulit karena prinsip kerja titrasi memiliki
syarat-syarat yang dalam teknik kerja seperti harus dihindari kontaminasi
bahan-bahandan peralatan karena dalam pelaksanaan harus seteliti mungkin. Dan
pada titrasi I volume NaOH yang
diperlukan sebanyak 8 ml ini yang dipakai untuk menghitung kadar asam total
yoghurt yang mendapatkan hasil 0,789% yang kemungkinan titrasi mendekati benar.
3.4.3. Penentuan
Kadar Asam Asetat pada Tape Singkong
Berdasarkan hasil praktikum percobaan kadar asam asetat pada tape singkong diperoleh data sebagai berikut :
Tabel 8. Hasil Percobaan Kadar Asam Asetat pada Tape Singkong
|
Jumlah NaOH (ml)
|
Titrasi 1
|
1,2 ml
|
Titrasi 2
|
1 ml
|
Rata-rata
|
1,1 ml
|
Sumber
: Data Primer Praktikum Bioimia Dasar, 2013.
Berdasarkan data menunjukkan bahwa volume rata-rata NaOH yang dibutuhkan yaitu 1,1
ml yang menghasilkan kadar asam asetat sebesar 0,234%. Tape
ubi kayu merupakan hasil fermentasi dari ubi kayu kukus yang mengandung amilum
atau pati
(karbohidrat) yang di
fermentasikan dengan ditambah ragi menjadi asam asetat dan hasil samping berupa alkohol oleh bakteri
amilolitik. Hal ini sesuai
dengan pendapat Anshory
(2003) menyatakan bahwa tape mengandung glukosa yang
dimanfaatkan oleh mikroba untuk pertumbuhan sehingga menghasilkan alkohol.
Alkohol tersebut digunakan oleh bakteri untuk pertumbuhan dan mengeluarkan
hasil samping berupa asam asetat.
Hal ini diperkuat dengan pendapat Iswari (2006) yang menambahkan bahwa ubi kayu ataupun
bahan sumber karbohidrat lainnya yang setelah dikukus dapat di fermentasi oleh
mikroba amilolitik menjadi tape. Mikroba
amilolitik menghasilkan amilase yang dapat memecah pati menjadi dekstrin,
maltotriosa, maltosa dan glukosa. Selanjutnya glukosa dimanfaatkan oleh mikroba
untuk pertumbuhan dengan mengeluarkan hasil samping berupa alkohol. Alkohol dapat dimanfaatkan lebih lanjut
oleh bakteri asam asetat untuk pertumbuhan dan mengeluarkan hasil samping
berupa asam asetat.
3.4.3. Penentuan
Kadar Asam Asetat pada Ubi Kayu Kukus
Berdasarkan hasil praktikum percobaan kadar asam asetat pada Ubi Kayu Kukus diperoleh data sebagai berikut :
Tabel 9. Hasil Percobaan Kadar Asam Asetat pada Ubi Kayu Kukus
|
Jumlah NaOH (ml)
|
Titrasi 1
|
1,3 ml
|
Titrasi 2
|
1,2 ml
|
Rata-rata
|
1,25 ml
|
Sumber
: Data Primer Praktikum Bioimia Dasar, 2013.
Berdasarkan data menunjukkan bahwa volume
rata-rata NaOH
yang dibutuhkan yaitu 1,25
ml yang menghasilkan kadar asam asetat sebesar 0,8208%. Ubi kayu mengandung amilum atau zat pati yang tinggi
jika dibandingkan dengan tape, namun kandungan asam asetat dari ubi kayu lebih
rendah dibandingkan tape karena pada ubi kayu tidak terdapat mikoorganisme yang
dapat merubah amilum menjadi asam asetat. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Iswari (2006) bahwa ubi kayu ataupun bahan sumber
karbohidrat lainnya yang setelah dikukus dapat di fermentasi oleh mikroba
amilolitik menjadi tape. Mikroba
amilolitik menghasilkan amilase yang dapat memecah pati menjadi dekstrin,
maltotriosa, maltosa dan glukosa.Selanjutnya glukosa dimanfaatkan oleh mikroba
untuk pertumbuhan dengan mengeluarkan hasil samping berupa alkohol. Alkohol dapat dimanfaatkan lebih lanjut
oleh bakteri asam asetat untuk pertumbuhan dan mengeluarkan hasil samping
berupa asam asetat. Pada
ubi kayu belum dipecah oleh enzim amilase sehingga mikroba tidak dapat
menggunakan ubi kayu sebagai media pertumbuhan yang akhirnya tidak dapat
membentuk asam laktat. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudarmadji et al.,
(1995), yang menjelaskan bahwa pada pengukuran kadar asam laktat pada tape
lebih tinggi kadar asam laktat pada ubi kayu.
BAB
IV
SIMPULAN DAN SARAN
4.1. Simpulan
Berdasarkan
hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa didalam mulut terdapat enzim amilase
atau ptialin yang mencerna karbohidrat menjadi senyawa yang lebih
sederhana. Pencernaan protein
dilakukan oleh pepsin yang
dapat hanya bekerja dalam suasana asam. Sedangkan ekstrak pankreas dapat mencerna protein dalam kondisi basa. Pencernaan pada protein menghasilkan
asam amino dan dipeptida. Pada pencernaan lemak, lemak dapat terhidrolisis menjadi
asam lemak dan gliserol oleh ekstrak pankreas (pankreaenzim) dan dapat teremulsikan oleh getah empedu. Pembentukan asam laktat pada yoghurt dan pembentukan asam asetat pada tape terjadi karena proses fermentasi. Kadar asam laktat pada yoghurt lebih besar daripada kadar asam laktat pada
susu segar. Serta kadar asam
pada tape ubi kayu lebih besar dari kadar asam asetat pada ubi kayu kukus.
4.2. Saran
Saat
melakukan praktikum seharusnya lebih teliti dalam memahami petunjuk praktikum agar tidak
terjadi kesalahan dalam melakukan percobaan. Sehingga mendapatkan hasil yang
tepat dan maksimal. Berhati-hati dalam melakukan percobaan agar tidak terjadi
kerusakan pada alat-alat yang kita gunakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Anggorodi, R.1979. Ilmu Makanan Ternak Umum.
Gramedia, Jakarta.
Anshory. 2003. Petunjuk Praktikum Teknik
Analisis Biologi. FMIPA UNY, Yogyakarta.
Budiyanto, Kreno A. 2002. Mikrobiologi
Terapan. Universitas Muhammadiyah
Malang, Malang.
Hart,
H., dkk. 2003.Kimia Organik Suatu Kuliah Singkat. Erlangga, Jakarta.
Iswari, R. 2006. Biokimia. Graha Ilmu,Yogyakarta.
Lehninger, A.L. 1992. Dasar-Dasar
Biokimia. Erlangga, Jakarta.
Martoharsono,
S. 1994. Biokimia Jilid 1. Gajah Mada University Press, Yogjakarta.
Martoharsono,
S. 2006. Biokimia Jilid 1. Gajah Mada University Press, Yogjakarta
McDonald,
P., R.A. Edwards dan J.F.D. Greenhalgh. Animal Nutrition Second
Edition. 1973.
Huntsmen Offset Printing Pte Ltd, Singapore.
Montgomery,
R., R. L. Dryer, T. W. Conway dan A. A. Spector. 1993. Biokimia.
Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Murray, Robert K. 2003. Biokimia
Harper Edisi 25. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Murwani,
Retno. 2010. Protein dan Asam Nukleat Edisi 1. Laboratorium Biokimia Nutrisi
Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. Semarang.
Poedjiadi,
A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Universitas Indonesia, Jakarta.
Poedjiadi,
A. dan F.M.T. Supriyanti.1994. Dasar-Dasar Biokimia. Universitas
Indonesia,
Jakarta.
Sastrohamidjojo, Hardjono. 2005. Kimia
Organik. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Soemardjo,
D. 2008. Kimia Kedokteran. Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang.