Rabu, 11 Juni 2014

STANDAR IDEAL IKLIM MIKRO PERKANDANGAN UNGGAS


No
Iklim (Parameter)
Maksimal
Minimal
Alat Ukur
1.
Suhu
23°C
21°C
thermometer
2.
Kelembapan
75%
50%
hygrometer
3.
Kecepatan Angin
1,5 m/s
1,0 m/s
anemometer
4.
Radiasi Matahari
400 kkal/m2/jam
366 kkal/m2/jam
blackglobe
5.
Gas yang dibutuhkan unggas
O2

±10 liter/jam

6.
Gas yang bersifat racun
H2S
NO2
NH3
800 ppm



1.      SUHU

Suhu nyaman ayam broiler berkisar antara 20 – 24°C (Charles, 1981), sementara suhu harian di daerah tropis pada siang hari dapat mencapai 34 0C. Menurut Baziz et al. (1996), suhu udara lingkungan termonetral untuk ayam adalah 21-23 oC. Pada suhu udara termonetral inilah ayam broiler akan berproduksi optimal. Pemeliharaan ayam broiler pada suhu udara lingkungan di atas 21 oC mengakibatkan ayam mengalami cekaman panas.
Tingginya suhu lingkungan merupakan salah satu penyebab terjadinya stres oksidatif yakni keadaan dimana aktivitas oksidan (radikal bebas) melebihi antioksidan. Hasil penelitian Harlova et al. (2002) menunjukkan bahwa cekaman panas pada ayam broiler (suhu siang hari 35 - 40°C dan malam hari 28 - 300C), nyata menurunkan jumlah sel darah merah, sel darah putih, konsentrasi hemoglobin dan nilai hematokrit darah ayam broiler umur 1 minggu.
Dilaporkan pula bahwa cekaman panas ternyata menyebabkan turunnya kekebalan tubuh, hal ini terlihat dari peningkatan rasio heterofil/limfosit.



2.      KELEMBAPAN

Apabila kelembaban udara lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroorganisme akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap. Menurut Charles dan Hariono (1991), senyawa yang menimbulkan bau dapat mudah terbentuk dalam kondisi anaerob seperti tumpukan kotoran yang masih basah. Senyawa tersebut dapat dihasilkan selama proses dekomposisi pada kotoran ayam. Oleh karena itu, faktor lingkungan yaitu kelembaban udara dapat mempengaruhi jumlah emisi yang dihasilkan.
Hal ini sejalan dengan pendapat NORTH (1982) bahwa kelembaban yang ideal untuk unggas di daerah tropik tidak lebih dari 75%, karena bila lebih dapat menyebabkan perkembangan mikroorganisme meningkat. Kelembaban dapat mempengaruhi penyerapan zat amoniak yang dihasilkan dari kotoran itik, kandungan amonia yang tinggi mengganggu itik dalam pengambilan oksigen sehingga mengganggu metabolisme (Mardalena 2002). Pada Kandang Slat kisaran kelembaban kandang rendah (30%), sirkulasi udara yang baik pada kandang Slat dapat mengurangi cekaman panas pada itik yang dapat menyebabkan kotoran itik yang lebih encer, lantai Slat lebih kering mengurangi polusi amonia karena dekomposisi kotoran sempurna. Kelembaban optimum pada kandang yaitu berkisar antara 55-65% (Purwanto & Yani 2006). Borges et al. (2004) menyatakan bahwa kelembaban udara optimum untuk pertumbuhan ayam broiler berkisar antara 50%-70%. Menurut BPS (1992), ayam broiler akan terkena stress apabila kelembaban udaranya terlalu tinggi yaitu diatas 70%.



3.      KECEPATAN ANGIN

Menurut DEFRA (2005), kecepatan angin di daerah beriklim tropis untuk ayam broiler minimal 1,0 m/s dengan kisaran 1,0-1,5 m/s. Kecepatan angin yang semakin tinggi menyebabkan pencampuran dan penyebaran polutan dari sumber emisi di atmosfer akan semakin besar sehingga konsentrasi zat pencemar menjadi encer begitu juga sebaliknya. Hal ini akan menurunkan konsentrasi zat polutan di udara (Hasnaeni, 2004).

4.      RADIASI MATAHARI

RAdiasi matahari yang baLama cekaman panas semakin menurunkan laju metabolisme dan konsumsi oksigen. Semakin tinggi radiasi matahari mengakibatkan tingginya suhu lungkungan pada perkandangan. Cekaman panas ternak  akibat radiasi matahari langsung menyebabkan respon fisiologisnya lebih tinggi dari ternak  yang ternaungi.

5.      GAS YANG DIBUTUHKAN UNGGAS
Oksigen (O2) sangat dibutuhkan oleh unggas untuk proses metabolism. Standar kandungan oksigen yang harus terhirup oleh unggas sekitar ±10 lt/jam.
6.      GAS YANG BERSIFAT RACUN
Hidrogen sulfida (H2S) merupakan gas yang dapat menghasilkan bau tidak sedap. Gas tersebut bersifat toksik bagi manusia dan ternak, dapat meningkatkan kerentanan terhadap penyakit, dan dapat mengganggu efisiensi aktivitas para pekerja yang berada di sekitar peternakan karena bau yang ditimbulkan (Setiawan, 1996).
Selain gas H2S, terdapat juga gas NO2 yang dibentuk melalui proses mikrobiologi dari nitrifikasi dan denitrifikasi. Gas ini dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan terutama gangguan pernafasan akut. Gas ini juga dapat menyebabkan keracunan apabila konsentrasinya melebihi ambang batas normal.
Kadar NO2 sebesar 800 ppm akan mengakibatkan 100% kematian pada binatang-binatang yang diuji dalam waktu 29 menit atau kurang. Pemberian NO2 dengan kadar 5 ppm selama 10 menit terhadap manusia mengakibatkan kesulitan dalam bernafas (Wardhana, 2001).
Gas NO2 (nitrogen dioksida), dapat juga merusak jaringan paru-paru dan jika bersama H2O akan membentuk nitric acid (HNO3) yang pada gilirannya dapat menimbulkan hujan asam yang sangat berbahaya bagi lingkungan (Kusuma, 2002).
Penyebab jumlah terbesar timbulnya bau dari peternakan berasal dari berbagai komponen yang meliputi NH3, VOCs, dan H2S (NRC, 2003). Senyawa yang menimbulkan bau ini dapat mudah terbentuk dalam kondisi anaerob seperti tumpukan kotoran yang masih basah. Senyawa tersebut tercium dengan mudah walau dalam konsentrasi yang sangat kecil. Untuk H2S, kadar 0,47 mg/l atau dalam konsentarasi part per million (ppm) di udara merupakan batas konsentrasi yang masih dapat tercium bau busuk. Untuk amonia, kadar rendah yang dapat terdeteksi baunya adalah 5 ppm. Akan tetapi, kepekaan seseorang terhadap bau ini sangat tidak mutlak, terlebih lagi bau yang disebabkan oleh campuran gas (Charles dan Hariono, 1991).
Bau kotoran ayam selain berdampak negatif terhadap kesehatan manusia yang tinggal di lingkungan sekitar peternakan, juga berdampak negatif terhadap ternak dan menyebabkan produktivitas ternak menurun. Pengelolaan lingkungan peternakan yang kurang baik dapat menyebabkan kerugian ekonomi bagi peternak itu sendiri karena gas-gas tersebut dapat menyebabkan produktivitas ayam menurun sedangkan biaya kesehatan semakin meningkat yang menyebabkan keuntungan peternak menipis (Pauzenga, 1991).

DAFTAR PUSTAKA
Kusnadi, E. 2008. Pengaruh temperature kandang terhadap konsumsi ransum dan komponen darah ayam broiler. J.Indon.Trop.Agric.33(3):197-220.

Prasetyanto, N. 2011. Kadar H2S, NO2 dan debu pada peternakan ayam broiler dengan kondisi lingkungan yang berbeda di kab. Bogor, Jawa Barat. Departemen Ilmu produksi dan Teknologi Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar