No
|
Iklim (Parameter)
|
Maksimal
|
Minimal
|
Alat Ukur
|
1.
|
Suhu
|
23°C
|
21°C
|
thermometer
|
2.
|
Kelembapan
|
75%
|
50%
|
hygrometer
|
3.
|
Kecepatan
Angin
|
1,5
m/s
|
1,0
m/s
|
anemometer
|
4.
|
Radiasi
Matahari
|
400
kkal/m2/jam
|
366
kkal/m2/jam
|
blackglobe
|
5.
|
Gas
yang dibutuhkan unggas
O2
|
|
±10
liter/jam
|
|
6.
|
Gas
yang bersifat racun
H2S
NO2
NH3
|
800
ppm
|
|
|
1. SUHU
Suhu nyaman ayam
broiler berkisar antara 20 – 24°C (Charles, 1981), sementara suhu harian di
daerah tropis pada siang hari dapat mencapai 34 0C. Menurut Baziz et al.
(1996), suhu udara lingkungan termonetral untuk ayam adalah 21-23 oC. Pada suhu
udara termonetral inilah ayam broiler akan berproduksi optimal. Pemeliharaan
ayam broiler pada suhu udara lingkungan di atas 21 oC mengakibatkan ayam
mengalami cekaman panas.
Tingginya suhu
lingkungan merupakan salah satu penyebab terjadinya stres oksidatif yakni
keadaan dimana aktivitas oksidan (radikal bebas) melebihi antioksidan. Hasil
penelitian Harlova et al. (2002) menunjukkan bahwa cekaman panas pada ayam
broiler (suhu siang hari 35 - 40°C dan malam hari 28 - 300C), nyata menurunkan
jumlah sel darah merah, sel darah putih, konsentrasi hemoglobin dan nilai
hematokrit darah ayam broiler umur 1 minggu.
Dilaporkan pula
bahwa cekaman panas ternyata menyebabkan turunnya kekebalan tubuh, hal ini
terlihat dari peningkatan rasio heterofil/limfosit.
2. KELEMBAPAN
Apabila
kelembaban udara lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara
berkurang, akibatnya aktivitas mikroorganisme akan menurun dan akan terjadi fermentasi
anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap. Menurut Charles dan Hariono (1991),
senyawa yang menimbulkan bau dapat mudah terbentuk dalam kondisi anaerob
seperti tumpukan kotoran yang masih basah. Senyawa tersebut dapat dihasilkan
selama proses dekomposisi pada kotoran ayam. Oleh karena itu, faktor lingkungan
yaitu kelembaban udara dapat mempengaruhi jumlah emisi yang dihasilkan.
Hal ini sejalan
dengan pendapat NORTH (1982) bahwa kelembaban yang ideal untuk unggas di daerah
tropik tidak lebih dari 75%, karena bila lebih dapat menyebabkan perkembangan
mikroorganisme meningkat. Kelembaban dapat mempengaruhi penyerapan zat amoniak
yang dihasilkan dari kotoran itik, kandungan amonia yang tinggi mengganggu itik
dalam pengambilan oksigen sehingga mengganggu metabolisme (Mardalena 2002).
Pada Kandang Slat kisaran kelembaban kandang rendah (30%), sirkulasi udara yang
baik pada kandang Slat dapat mengurangi cekaman panas pada itik yang dapat menyebabkan
kotoran itik yang lebih encer, lantai Slat lebih kering mengurangi polusi
amonia karena dekomposisi kotoran sempurna. Kelembaban optimum pada kandang
yaitu berkisar antara 55-65% (Purwanto & Yani 2006). Borges et al. (2004)
menyatakan bahwa kelembaban udara optimum untuk pertumbuhan ayam broiler
berkisar antara 50%-70%. Menurut BPS (1992), ayam broiler akan terkena stress
apabila kelembaban udaranya terlalu tinggi yaitu diatas 70%.
3. KECEPATAN
ANGIN
Menurut DEFRA
(2005), kecepatan angin di daerah beriklim tropis untuk ayam broiler minimal
1,0 m/s dengan kisaran 1,0-1,5 m/s. Kecepatan angin yang semakin tinggi
menyebabkan pencampuran dan penyebaran polutan dari sumber emisi di atmosfer
akan semakin besar sehingga konsentrasi zat pencemar menjadi encer begitu juga
sebaliknya. Hal ini akan menurunkan konsentrasi zat polutan di udara (Hasnaeni,
2004).
4. RADIASI
MATAHARI
RAdiasi matahari yang baLama cekaman panas semakin
menurunkan laju metabolisme dan konsumsi oksigen. Semakin tinggi radiasi
matahari mengakibatkan tingginya suhu lungkungan pada perkandangan. Cekaman panas
ternak akibat radiasi matahari langsung
menyebabkan respon fisiologisnya lebih tinggi dari ternak yang ternaungi.
5. GAS
YANG DIBUTUHKAN UNGGAS
Oksigen
(O2) sangat dibutuhkan oleh unggas untuk proses metabolism. Standar
kandungan oksigen yang harus terhirup oleh unggas sekitar ±10 lt/jam.
6. GAS
YANG BERSIFAT RACUN
Hidrogen sulfida
(H2S) merupakan gas yang dapat menghasilkan bau tidak sedap. Gas tersebut
bersifat toksik bagi manusia dan ternak, dapat meningkatkan kerentanan terhadap
penyakit, dan dapat mengganggu efisiensi aktivitas para pekerja yang berada di
sekitar peternakan karena bau yang ditimbulkan (Setiawan, 1996).
Selain gas H2S,
terdapat juga gas NO2 yang dibentuk melalui proses mikrobiologi dari
nitrifikasi dan denitrifikasi. Gas ini dapat menyebabkan gangguan terhadap
kesehatan terutama gangguan pernafasan akut. Gas ini juga dapat menyebabkan
keracunan apabila konsentrasinya melebihi ambang batas normal.
Kadar NO2
sebesar 800 ppm akan mengakibatkan 100% kematian pada binatang-binatang yang diuji
dalam waktu 29 menit atau kurang. Pemberian NO2 dengan kadar 5 ppm selama 10
menit terhadap manusia mengakibatkan kesulitan dalam bernafas (Wardhana, 2001).
Gas NO2
(nitrogen dioksida), dapat juga merusak jaringan paru-paru dan jika bersama H2O
akan membentuk nitric acid (HNO3) yang pada gilirannya dapat menimbulkan
hujan asam yang sangat berbahaya bagi lingkungan (Kusuma, 2002).
Penyebab jumlah
terbesar timbulnya bau dari peternakan berasal dari berbagai komponen yang
meliputi NH3, VOCs, dan H2S (NRC, 2003). Senyawa yang menimbulkan bau ini dapat
mudah terbentuk dalam kondisi anaerob seperti tumpukan kotoran yang masih
basah. Senyawa tersebut tercium dengan mudah walau dalam konsentrasi yang
sangat kecil. Untuk H2S, kadar 0,47 mg/l atau dalam konsentarasi part per
million (ppm) di udara merupakan batas konsentrasi yang masih dapat tercium
bau busuk. Untuk amonia, kadar rendah yang dapat terdeteksi baunya adalah 5
ppm. Akan tetapi, kepekaan seseorang terhadap bau ini sangat tidak mutlak,
terlebih lagi bau yang disebabkan oleh campuran gas (Charles dan Hariono,
1991).
Bau kotoran ayam
selain berdampak negatif terhadap kesehatan manusia yang tinggal di lingkungan
sekitar peternakan, juga berdampak negatif terhadap ternak dan menyebabkan
produktivitas ternak menurun. Pengelolaan lingkungan peternakan yang kurang
baik dapat menyebabkan kerugian ekonomi bagi peternak itu sendiri karena
gas-gas tersebut dapat menyebabkan produktivitas ayam menurun sedangkan biaya
kesehatan semakin meningkat yang menyebabkan keuntungan peternak menipis
(Pauzenga, 1991).
DAFTAR PUSTAKA
Kusnadi, E. 2008.
Pengaruh temperature kandang terhadap konsumsi ransum dan komponen darah ayam
broiler. J.Indon.Trop.Agric.33(3):197-220.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar