Senin, 24 Agustus 2015

LAPORAN RUMINOLOGI

RINGKASAN
KELOMPOK II. 2015. Laporan Praktikum Ruminologi (Asisten Pembimbing : Abdul Aziz Huda).

            Praktikum Ruminologi dengan materi Kecernaan Bahan Kering (KcBK), Kecernaan Bahan Organik (KcBO), Produksi Volatile Fatty Acid (VFA) dan Amonia (NH3) secara In Vitro dilaksanakan pada hari Sabtu, 30 Mei 2015 – Minggu, 8 Juni 2015 di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang. Tujuan dari praktikum Ruminologi adalah mahasiswa mampu melaksanakan analisis KcBK, KcBO, produksi VFA dan NH3  dengan menggunakan metode in vitro. Manfaat yang diperoleh yaitu mengetahui nilai KcBK, KcBO, produksi VFA dan NH3 pada perlakuan pakan yang menggunakan sumber protein hewani dan nabati.
Bahan yang digunakan dalam praktikum adalah ransum untuk ruminansia, cairan rumen sapi, larutan McDougall, larutan pepsin HCl, asam borat (H3BO3) berindikator, larutan Na2CO3 jenuh, vaselin, larutan H2SO4 0,005 N, larutan NaOH 0,5 N, larutan HCl 0,5 N, aquades dan phenolptalein. Ransum yang digunakan terdiri dari beberapa bahan pakan yaitu onggok, dedak padi, bungkil kedelai, tepung ikan dan molasses. Masing-masing bahan pakan dibuat tepung halus.Ada 5 macam perlakuan ransum dengan dengan kandungan PK dan TDN yang sama yaitu 14% dan 65% dengan sumber protein bungkil kedelai dan tepung ikan pada taraf yang berbeda. ada 5 perlakuan yang digunakan yaitu T1 (Ransum +100% Bungkil Kedelai), T2 (Ransum + 100% Tepung Ikan), T3            (Ransum + 75% Bungkil Kedelai dan 25% Tepung Ikan), T4 (Ransum + 50% Bungkil Kedelai dan 50% Tepung Ikan) dan T5 (Ransum + 25% Bungkil Kedelai dan 75% Tepung Ikan). Peralatan yang digunakan dalam praktikum adalah tabung fermentor, waterbath, gelas beker, sentrifus, tabung sentrifus, cawan Cownway, pipet, buret, labu Erlenmeyer, seperangkat alat destilasi, kertas saring, timbangan digital, tabung reaksi, oven, tanur dan eksikator.
Nilai KcBK pada T1, T2, T3, T4 dan T5 adalah 75,28%, 68,36%, 75,68%, 72,12% dan 64,28%. Nilai KcBO pada perlakuan T1, T2, T3. T4 dan T5 secara berurutan adalah 75,56% ; 69,27% ; 75,99% ; 72,40% dan 63,90 %. Hasil produksi VFA dari T1, T2, T3, T4 dan T5 sebesar 135 mM ; 65 mM; 145 mM; 85 mM dan 50 mM. Hasil produksi NH3 pada Perlakuan T1, T2, T3, T4 dan T5 secara berurutan adalah 2,83 mM ; 2,45 mM; 2,42 mM ; 2,86 mM dan 2,64 mM. Penggunaan komposisi bahan pakan sumber protein yang berbeda mempengaruhi kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, produksi VFA dan NH3 yang berbeda. Hasil terbaik dari kecernaan bahan kering dan bahan organik adalah pada perlakuan T3 dengan penggunaan sumber protein 75% Bungkil Kedelai dan 25% Tepung Ikan.

Kata Kunci : in vitro, KcBK, KcBO, produksi VFA dan NH3
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia jika ditinjau dari sumber daya alamnya adalah negara potensial sebagai negara sentra pengembangan peternakan ruminansia. Pasalnya sumber daya alam berupa bahan baku pakan sangat tersedia melimpah dan murah. Pengembangan peternakan ruminansia baik di masa kini maupun di masa yang akan datang tentunya tidak lepas dari beberapa hal yang mendukungnya. Salah satu hal yang mendukung dari berkembangnya peternakan ruminansia adalah pakan, pakan menyumbang 70% dari total biaya produksi yang dikeluarkan. Kondisi tersebut menuntut penyediaan pakan untuk ruminansia harus memiliki kualitas yang bagus dan mampu menunjang efisiensitas biaya dan produktivitas dari ruminansia itu sendiri berupa produksi daging.
Kondisi pakan (kualitas dan kuantitas) yang tidak mencukupi kebutuhan menyebabkan produktivitas ternak menjadi rendah yang ditunjukkan oleh laju pertumbuhan yang lambat dan bobot badan rendah. Upaya untuk mencukupi kebutuhan gizi dan memacu pertumbuhan ternak ruminansia dapat dilakukan dengan cara memberi pakan tambahan konsentrat atau bahan pakan yang mengandung protein lebih tinggi dari pada rumput. Protein adalah salah satu komponen gizi pakan yang diperlukan ternak untuk pertumbuhan. Laju pertumbuhan ternak yang cepat, akan membutuhkan protein lebih tinggi di dalam ransumnya. Secara global protein dapat diperoleh dari protein hewani dan nabati, namun informasi tentang efisiensi penggunaan protein tersebut untuk pertumbuhan jaringan tubuh masih belum banyak tereksplorasi secara mendalam. Berdasarkan uraian diatas maka perlulah dilakukan pengamatan, evaluasi dan kajian tentang kecernaan bahan kering (KcBK), kecernaan bahan organik (KcBO), produksi VFA dan NH3  secara in vitro pada ransum komplit yang memiliki sumber protein yang berbeda yaitu nabati dan hewani. Metode in vitro digunakan karena lebih cepat dan mudah dalam pelaksanaannya dibandingkan metode yang lain seperti in vivo dan in sacco.
Tujuan dilaksanakan praktikum ini adalah mahasiswa mampu melaksanakan analisis kecernaan bahan kering (KcBK), kecernaan bahan organik (KcBO), produksi VFA dan NH3  dengan menggunakan mettode in vitro. Manfaat yang diperoleh yaitu menegetahui nilai KcBK, KcBO, produksi VFA dan NH3 pada perlakuan pakan yang menggunakan sumber protein hewani dan nabati.  




BAB II
MATERI DAN METODE
Praktikum Ruminologi dengan materi Kecernaan Bahan Kering (KcBK), Kecernaan Bahan Organik (KcBO), produksi VFA dan NH3secara in vitrodilaksanakan pada tanggal 31 Mei 2015 sampai 7 Juni 2015 di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan dan Laboratorium Ruminologi Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro,Semarang.

2.1.            Materi
Bahan yang digunakan dalam praktikum adalah ransum untuk ruminansia, cairan rumen sapi, larutan McDougall, larutan pepsin HCl, asam borat (H3BO3) berindikator, larutan Na2CO3 jenuh, vaselin, larutan H2SO4 0,005 N, larutan NaOH 0,5 N, larutan HCl 0,5 N, aquades dan phenolptalein.
Ransum yang digunakan terdiri dari beberapa bahan pakan yaitu onggok, dedak padi, bungkil kedelai, tepung ikan dan molasses.Masing-masing bahan pakan dibuat tepung halus.Ada 5 macam perlakuan ransum dengan dengan kandungan PK dan TDN yang sama yaitu 14% dan 65% dengan sumber protein bungkil kedelai dan tepung ikan pada taraf yang berbeda.
T1        = Ransum +100% Bungkil Kedelai
T2        = Ransum + 100% Tepung Ikan
T3        = Ransum + 75% Bungkil Kedelai dan 25% Tepung Ikan
T4        =Ransum + 50% Bungkil Kedelai dan 50% Tepung Ikan     
T5        =Ransum + 25% Bungkil Kedelai dan 75% Tepung Ikan
Peralatan yang digunakan dalam praktikum adalah tabung fermentor, waterbath, gelas beker, sentrifus, tabung sentrifus, cawan Cownway, pipet, buret, labu Erlenmeyer, seperangkat alat destilasi, kertas saring, timbangan digital, tabung reaksi, oven, tanur dan eksikator.

2.2.            Metode
2.2.1.      Penentuan kecernaan bahan kering dan bahan organik
Pengukuran kecernaan bahan kering dan bahan organik (KcBK dan KcBO) dilakukan dengan metode Tilley dan Terry (1963). Tahapan analisis dilakukan dua tahap yaitu tahap fermentasi dan enzimatis. Sebelumnya melakukan analisis kandungan bahan kering dan bahan organik dari setiap ransum perlakuan. Sampel yang akan diinkubasi ditimbang sebanyak 0,55 – 0,56 g kemudian dimasukkan ke dalam tabung fermentor. Tahap fermentasi in vitro dilakukan dengan cara mengambil cairan rumen sebanyak 10 ml ke dalam tabung fermentor dan ditambahkan larutan McDaugall sebanyak 40 ml sebagai buffer kemudian diinkubasi pada inkubator hingga 48 jam. Selama 48 jam harus dilakukan penggojokan tabung fermentor setiap 6 jam sekali. Setelah 48 jam fermentasi in vitro, tabung fermentor disentrifus. Campuran disentrifus pada kecepatan 3000 rpmselama 15 menit. Supernatan dibuang, kemudian ke dalam tabung ditambahkan 50ml larutan pepsin HCl 0,2 %. Inkubasi dilanjutkan 48 jam secara anaerob dan setiap 6 jam sekali dilakukan penggojokan. Setelah inkubasi 48 jam sisa pencernaan disaring menggunakan kertas saring dan dibantu dengan pompa vakum. Hasil saringan dimasukkan ke dalam cawan porselin dan dikeringkan di dalam oven 105ºC selama 24 jam untuk mengetahui residu bahan kering. Selanjutnya sampel diabukan dalam tanur 600ºC selama 6 jam untuk menghitung bahan organiknya. Blanko dibuat dengan proses yang sama seperti sebelumnya tetapi tanpa menggunakan sampel pakan percobaan.

Rumus Penentuan KcBK :
Kecernaan Bahan Kering =  x 100%

Rumus Penentuan KcBO :
Kecernaan Bahan Organik =  x 100%


2.2.2.      Pengukuran Volatile Fatty Acids (VFA)
Sampel ditimbang sebanyak 0,55 – 0,56 g kemudian dimasukkan ke dalam tabung fermentor. Cairan rumen sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam tabung fermentor dan ditambahkan larutan McDaugall sebanyak 40 ml sebagai buffer kemudian diinkubasi pada waterbath hingga 3 jam. Hasil inkubasi disentrifus pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Supernatan diambil untuk dianalisis VFA dan NH3. Analisis VFA dilakukan dengan teknik Destilasi Uap. Sebanyak 5 ml supernatan dimasukkan ke dalam tabung destilasi, lalu ditambahkan 1 ml H2SO4 15 % dan tabung segera ditutup. Proses destilasi dilakukan dengan cara menghubungkan tabung dengan labu yang berisi air mendidih. Uap air panas akan mendesak VFA dan akan terkondensasi di dalam pendingin. Destilat ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0,5 N sehingga volumenya mencapai 250 - 300 ml. Setelah itu ditambahkan indikator phenolptalein sebanyak 2 tetes dan dititrasi dengan HCl 0,5 N sampai warna titrat berubah dari merah jambu menjadi bening. Penentuan blanko dilakukan dengan cara sama seperti analisis VFA namun tidak menggunakan supernatant dari sampel percobaan. Konsentrasi VFA dapat dihitung dengan rumus :

Produksi VFA (mM)   = (Titran blanko – Titran sampel) x N HCl x 1000/5

2.2.3.      Pengukuran Produksi Amonia (NH3)
Analisis produksi ammonia (NH3) dilakukan dengan metode Mikrodifusi Conway. Bibir cawan Conway dan tutup cawan diolesi dengan vaselin. Supernatan hasil dari sentrifus diambil sebanyak 1 ml dan ditempatkan pada salah satu sisi sekat cawan. Larutan Na2CO3 jenuh sebanyak 1 ml diletakkan di sisi cawan yang lain (kedua bahan tidak boleh bercampur sebelum tutup cawan ditutup rapat). Asam borat berindikator sebanyak 1 ml dimasukkan ke cawan kecil yang terletak di tengah cawan Conway. Cawan Conway ditutup rapat dengan tutup cawan. Cawan Conway digerakkan hingga supernatan dan Na2CO3 tercampur rata dan dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar. Setelah 24 jam, tutup cawan dibuka, asam borat berindikator dititrasi dengan H2SO4 sampai warnanya berubah dari biru menjadi kemerah-merahan.
            Konsentrasi produksi Amonia dapat dihitung dengan rumus :
            Produksi Amonia (NH3)  (mM) = ml titran x N H2SO4 x 1000



BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.            Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik
Tinggi rendahnya kecernaan bahan pakan memberi arti seberapa besar bahan pakan itu mengandung zat-zat pakan dalam bentuk yang dapat dicerna dalam saluran pencernaan. Basri (2014) menjelaskan bahwa kecernaan adalah selisih antara zat pakan yang dikonsumsi dengan yang dieksresikan dalam feses dan urin serta dianggap terserap dalam saluran cerna, sehingga kecernaan merupakan pencerminan dari jumlah nutrisi dalam bahan pakan yang dapat dimanfaatkan oleh ternak.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh data KcBK dan KcBO dari setiap perlakuan sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil Praktikum Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik
Parameter
Kecernaan Bahan Kering
Kecernaan Bahan Organik
-------------------------------------%----------------------------------
T1
75,28
75,34
T2
68,36
70,39
T3
75,68
76,05
T4
72,12
72,71
T5
64,28
64,80
Sumber : Data Primer Praktikum Ruminologi, 2015

Berdasarkan (Tabel 1) kecernaan bahan kering (in vitro) secara berurutan dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah yaitu T1 (100% protein nabati), T2 (100% proein hewani), T3 (75% protein nabati + 25% protein hewani), T5 (50% protein nabati + 50% protein hewani) dan T4 (25% protein nabati + 75% protein hewani). T1 memberikan nilai kecernaan bahan kering pada titik 75,28% dan lebih bagus dari pada T2 yang hanya memberikan nilai kecernaan pada titik 68,36%, kondisi tersebut menunjukan bahwa kecernaan bahan kering dari bahan pakan sumber protein nabati lebih baik dari pada bahan pakan sumber protein hewani. Kecernaan bahan kering tersebut menunjukan pebedaan diindikasikan dipengaruhi oleh daya larut protein dalam bahan pakan dan kemampuan mikroba dalam rumen untuk mendegradasi protein pakan tersebut. Fernandez et al. (2003) melaporkan bahwa kecernaan bahan kering dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda terhadap mikroba yang terdapat dalam rumen. Kondisi tersebut juga berlaku pada T3 yang menunjukan angka kecernaan bahan kering pada titik 75,68% dan lebih bagus dari pada T5 dan T4 yang secara berurutan menunjukan angka kecernaan bahan kering pada titik 72,12% dan 64,28%. Perbedaan tersebut selain dipengaruhi oleh daya atau kemampuan mikroba rumen dalam mendegradasi protein juga dipengaruhi oleh faktor perbandingan komposisi yang dirancang pada ransum. McDonald et al. (2002) melaporkan bahwa yangmempengaruhi kecernaan bahan kering  antara lain komposisi bahan pakan, perbandingan komposisi antara bahan pakan satu dengan bahan pakan lainnya, perlakuan pakan, suplementasi enzim dalam pakan, ternak dan taraf pemberian pakan.
Hasil dari kecernaan bahan organik pada perlakuan T1, T2, T3. T4 dan T5 secara berurutan adalah 75,56% ; 69,27% ; 75,99% ; 72,40% dan 63,90 %. Secara keseluruhan kecernaan bahan organik lebih besar dibandingkan dengan kecernaan bahan kering. Hal ini disebabkan susunan dari bahan organik sudah tidak mengandung mineral yang sulit untuk dicerna. Tanuwiria et al. (2011) bahwa kecernaan bahan organik lebih besar daripada kecernaan bahan kering karena komponen bahan organik lebih mudah dicerna dibandingkan dengan bahan kering yang mengandung residu komponen mineral yang tidak larut sehingga keberadaannya mengurangi kecernaan bahan kering. Liukae (2007) menambahkan bahwa penurunan kecernaan bahan kering akan mengakibatkan kecernaan bahan organik menurun atau sebaliknya.

3.2.            Produksi VFA dan NH3
Produksi VFA dan NH3 di dalam evaluasi nutrisi pakan secara in vitro mengindikasikan nilai fermentabilitas suatu bahan pakan. VFA dan NH3 yang terbentuk merupakan hasil fermentasi sumber nutrien dalam pakan, semakin tinggi produksi VFA dan NH3nya semakin tinggi fermentabililitas bahan pakan tersebut.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan diperoleh data produksiVFA dan NH3 dari setiap perlakuan sebagai berikut:
Tabel 2. Hasil Praktikum Produksi VFA dan  NH3
Parameter
Produksi VFA
Produksi NH3
-----------mM-----------
T1
135
2,83
T2
65
2,45
T3
145
2,42
T4
85
2,86
T5
50
2,64
Sumber: Data Primer Praktikum Ruminologi, 2015.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan didapatkan hasil produksi VFA sebagai berikut T1 : 135 mM ; T2 : 65 mM; T3 : 145 mM; T4 : 85 mM dan T5 : 50 mM. Hasil produksi VFA T1, T3 dan T4 termasuk optimum namun hasil T2 dan T5 sangat rendah dibandingkan dengan pendapat Sutardi et al. (1993) dalam Indriani et al. (2013) yang menyatakan bahwa konsentrasi VFA optimum yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan mikroba adalah 80 – 160 mM. Produksi VFA yang optimum mengindikasikan bahwa efisiensi proses fermentasi pakan dalam rumen baik. Tinggi rendahnya produksi VFA dapat juga untuk mengetahui kemampuam mikroba dalam memfermentasi pakan dalam rumen. Indriani et al. (2013) menyatakan bahwa jumlah VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut difermentasi oleh mikroba rumen. Suherman et al. (2013) menyatakan bahwa kandungan VFA didalam cairan rumen dapat digunakan sebagai tolok ukur efisiensi pakan di dalam rumen.
Hasil analisis produksi NH3 secara in vitro pada Perlakuan T1, T2, T3, T4 dan T5 secara berurutan adalah 2,83 mM ; 2,45mM; 2,42 mM ; 2,86 mM dan 2,64 mM. Hasil tersebut menunjukkan produk NH3 pada setiap perlakuan < 4 mM atau kurang dari batas minimum kadarNH3 yang dibutuhkan oleh mikrobia rumen. Tanuwiria et al. (2011) melaporkan bahwa kadar ammonia optimum dalam rumen adalah 3,57 mM. Hasil produksi NH3 yang rendah disebabkan karena tingginya kandungan protein dalam pakan perlakuan yang lolos degradasi (protein by pass). Indriani et al. (2013) melaporkan bahwa jika pakan memiliki tinggi kandungan protein yang lolos dalam rumen maka konsentrasi NH3 rumen akan rendah.



BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
4.1.            Simpulan
Penggunaan komposisi bahan pakan sumber protein yang berbeda mempengaruhi kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, produksi VFA dan NH3 yang berbeda.Hasil terbaik dari kecernaan bahan kering dan bahan organik adalah pada perlakuan T3 dengan penggunaan sumber protein 75% Bungkil Kedelai dan 25% Tepung Ikan.

4.2.            Saran
Sampel yang akan dianalisis sebaiknya ditepungkan menjadi partikel kecil agar proses fermentasi pada sampel terjadi sama dengan kondisi dalam rumen sebenarnya.Fasilitas yang digunakan untuk melakukan praktikum terutama peralatan untuk analisis VFA kurang mendukung.Sehingga pengujian sering diulang karena kesalahan.Sentrifus yang tersedia juga sedikit sehingga untuk melakukan sentrifus pada tabung fermentor harus bergiliran dan membutuhkan waktu yang lama.Sebaiknya fasilitas peralatan laboratorium diperbaruhui dan diperbanyak agar pelaksanan analisis berjalan dengan lancar.



DAFTAR PUSTAKA
Basri. 2014. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Ransum Komplit dengan Kandungan Protein Berbeda pada Kambing Marica Jantan. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makasar. (Skripsi).

Fernandez, C., P. Sanchez-Seiquer and A. Sanchez. 2003. Use of total mixed ration with three sources of protein as an alternative feeding for dairy goats on Southeast of Spain. Pakistan J. Nut. 2 (9) :18-24.

Indriani, N., T. R. Sutardi dan Suparwi. 2013. Fermentasi limbah Soun dengan menggunakan Aspergillus nigerditinjau dari kadar Volatile Fatty Acid (VFA) total dan Amonia (NH3) secara in vitro. J. Ilmiah Peternakan. 1(3): 804-812.

Liukae, D. S. 2007.  Pengaruh Level Rumput Kumpai Tembanga (Hymenachneacutiguma) sebagai Bahan Pengawet Kualitas Silase. Fakultas Peternakan. Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Skripsi).

McDonald, P., R. Edwards, J. Greenhalgh and C. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 6th Edition. Longman Scientific and Technical, New York.
Pujiati, A. 2010. Pengaruh Menir Kedelai, Tepung Ikan dan Bungkil Kelapa Sawit Terproteksi terhadap Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik dan Protein Kasar Ransum Sapi PO Berfistula. Fakultas Peternakan dan Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. (Skripsi)
Putra, D.T.B. 2011. Pengaruh Suplementasi Daun Waru (Hibiscus tilaceus L.) terhadap Karakteristik Fermentasi dan Populasi Protozoa Rumen secara In Vitro. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. (Skripsi).
Suherman, K., Suparwi dan Widyastuti. 2013. Konsntrasi VFA total dan amonia pada onggok yang difermentasi dengan Aspergilus niger secara in vitro. J.l Ilmiah Peternakan 1 (3) : 827-834.
Tanuwiria, U. H., D. C. Budinuryanto, S. Darodjah dan W. S. Putranto. 2011. Studi pembuatan kompleks mineral-minyal dan efek penggunaan dalam ransum terhadap fermentabilitas dan kecernaan (in vitro). J. Ilmu Ternak 10 (1) : 32 – 38


Yulistiani, D. 2012. Tanaman Murbei sebagai sumber protein hijauan pakan domba dan kambing. J. Wartazoa. 22(1) 46-52.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar