RINGKASAN
KELOMPOK
II. 2015. Laporan
Praktikum Ruminologi (Asisten Pembimbing : Abdul
Aziz Huda).
Praktikum Ruminologi dengan
materi Kecernaan Bahan Kering (KcBK), Kecernaan Bahan Organik (KcBO), Produksi Volatile Fatty Acid (VFA) dan Amonia (NH3)
secara In Vitro dilaksanakan
pada hari Sabtu, 30 Mei 2015 – Minggu, 8 Juni 2015 di Laboratorium Ilmu Nutrisi
dan Pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang.
Tujuan dari praktikum Ruminologi adalah mahasiswa mampu
melaksanakan analisis KcBK, KcBO, produksi VFA dan NH3 dengan menggunakan metode in vitro. Manfaat yang diperoleh yaitu mengetahui nilai KcBK, KcBO, produksi VFA dan NH3 pada perlakuan
pakan yang menggunakan sumber protein hewani dan nabati.
Bahan yang
digunakan dalam praktikum adalah ransum untuk ruminansia, cairan rumen sapi,
larutan McDougall, larutan pepsin HCl, asam borat (H3BO3)
berindikator, larutan Na2CO3 jenuh, vaselin, larutan H2SO4
0,005 N, larutan NaOH 0,5 N, larutan HCl 0,5 N, aquades dan phenolptalein. Ransum yang digunakan
terdiri dari beberapa bahan pakan yaitu onggok, dedak padi, bungkil kedelai,
tepung ikan dan molasses. Masing-masing bahan pakan dibuat tepung halus.Ada 5
macam perlakuan ransum dengan dengan kandungan PK dan TDN yang sama yaitu 14%
dan 65% dengan sumber protein bungkil kedelai dan tepung ikan pada taraf yang
berbeda. ada 5 perlakuan yang digunakan yaitu T1 (Ransum +100% Bungkil Kedelai),
T2 (Ransum + 100% Tepung Ikan), T3 (Ransum
+ 75% Bungkil Kedelai dan 25% Tepung Ikan), T4 (Ransum + 50% Bungkil Kedelai
dan 50% Tepung Ikan) dan T5 (Ransum + 25% Bungkil Kedelai dan 75% Tepung Ikan).
Peralatan yang digunakan dalam praktikum adalah tabung fermentor, waterbath, gelas beker, sentrifus,
tabung sentrifus, cawan Cownway,
pipet, buret, labu Erlenmeyer,
seperangkat alat destilasi, kertas saring, timbangan digital, tabung reaksi,
oven, tanur dan eksikator.
Nilai KcBK pada T1, T2, T3, T4
dan T5 adalah 75,28%, 68,36%, 75,68%,
72,12% dan 64,28%. Nilai KcBO pada
perlakuan T1, T2, T3. T4 dan T5 secara berurutan adalah 75,56% ; 69,27% ;
75,99% ; 72,40% dan 63,90 %. Hasil produksi VFA dari T1, T2, T3, T4 dan T5
sebesar 135 mM ; 65 mM; 145 mM; 85 mM dan 50 mM. Hasil produksi NH3
pada Perlakuan T1, T2, T3, T4 dan T5 secara berurutan adalah 2,83 mM ; 2,45 mM;
2,42 mM ; 2,86 mM dan 2,64 mM. Penggunaan komposisi bahan pakan sumber protein
yang berbeda mempengaruhi kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik,
produksi VFA dan NH3 yang berbeda. Hasil terbaik dari kecernaan
bahan kering dan bahan organik adalah pada perlakuan T3 dengan penggunaan
sumber protein 75% Bungkil Kedelai dan 25% Tepung Ikan.
Kata
Kunci : in
vitro, KcBK, KcBO, produksi VFA dan NH3
BAB
I
PENDAHULUAN
Indonesia jika ditinjau dari sumber daya
alamnya adalah negara potensial sebagai negara sentra pengembangan peternakan
ruminansia. Pasalnya sumber daya alam berupa bahan baku pakan sangat tersedia melimpah dan murah. Pengembangan peternakan ruminansia baik di masa kini maupun di masa yang akan datang tentunya
tidak lepas dari beberapa hal yang mendukungnya. Salah satu hal yang mendukung
dari berkembangnya peternakan ruminansia adalah pakan, pakan menyumbang 70% dari total
biaya produksi yang dikeluarkan. Kondisi tersebut menuntut penyediaan pakan
untuk ruminansia harus memiliki kualitas yang bagus dan mampu
menunjang efisiensitas biaya dan produktivitas dari ruminansia itu sendiri berupa produksi daging.
Kondisi
pakan (kualitas dan kuantitas) yang tidak mencukupi kebutuhan menyebabkan
produktivitas ternak menjadi rendah yang ditunjukkan oleh laju pertumbuhan yang
lambat dan bobot badan rendah. Upaya untuk mencukupi kebutuhan gizi dan memacu
pertumbuhan ternak ruminansia dapat
dilakukan dengan cara memberi pakan tambahan konsentrat atau bahan pakan yang mengandung protein
lebih tinggi dari pada rumput. Protein
adalah salah satu komponen gizi pakan
yang diperlukan ternak untuk pertumbuhan. Laju pertumbuhan ternak yang cepat,
akan membutuhkan protein lebih tinggi di dalam ransumnya. Secara global protein dapat diperoleh dari protein
hewani dan nabati, namun informasi tentang efisiensi penggunaan
protein tersebut
untuk pertumbuhan jaringan tubuh
masih belum banyak tereksplorasi secara mendalam. Berdasarkan uraian diatas
maka perlulah dilakukan pengamatan, evaluasi dan kajian tentang kecernaan bahan
kering
(KcBK), kecernaan bahan organik
(KcBO), produksi VFA dan NH3 secara in
vitro pada ransum komplit yang memiliki sumber protein yang berbeda yaitu nabati dan
hewani.
Metode in vitro digunakan karena
lebih cepat dan mudah dalam pelaksanaannya dibandingkan metode yang lain
seperti in vivo dan in sacco.
Tujuan dilaksanakan praktikum ini adalah
mahasiswa mampu melaksanakan analisis kecernaan bahan kering (KcBK), kecernaan bahan organik (KcBO), produksi VFA dan NH3 dengan menggunakan
mettode in
vitro. Manfaat yang diperoleh yaitu menegetahui
nilai KcBK, KcBO,
produksi VFA dan NH3
pada perlakuan pakan yang menggunakan sumber protein hewani dan nabati.
BAB
II
MATERI
DAN METODE
Praktikum
Ruminologi dengan materi Kecernaan Bahan Kering (KcBK), Kecernaan Bahan Organik
(KcBO), produksi VFA dan NH3secara in vitrodilaksanakan pada tanggal 31 Mei 2015 sampai 7 Juni 2015 di
Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan dan Laboratorium Ruminologi Fakultas
Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro,Semarang.
2.1.
Materi
Bahan
yang digunakan dalam praktikum adalah ransum untuk ruminansia, cairan rumen
sapi, larutan McDougall, larutan pepsin HCl, asam borat (H3BO3)
berindikator, larutan Na2CO3 jenuh, vaselin, larutan H2SO4
0,005 N, larutan NaOH 0,5 N, larutan HCl 0,5 N, aquades dan phenolptalein.
Ransum
yang digunakan terdiri dari beberapa bahan pakan yaitu onggok, dedak padi,
bungkil kedelai, tepung ikan dan molasses.Masing-masing bahan pakan dibuat
tepung halus.Ada 5 macam perlakuan ransum dengan dengan kandungan PK dan TDN
yang sama yaitu 14% dan 65% dengan sumber protein bungkil kedelai dan tepung
ikan pada taraf yang berbeda.
T1 = Ransum +100% Bungkil Kedelai
T2 = Ransum + 100% Tepung Ikan
T3 = Ransum + 75% Bungkil Kedelai dan 25%
Tepung Ikan
T4 =Ransum + 50% Bungkil Kedelai dan 50%
Tepung Ikan
T5 =Ransum + 25% Bungkil Kedelai dan 75%
Tepung Ikan
Peralatan
yang digunakan dalam praktikum adalah tabung fermentor, waterbath, gelas beker, sentrifus, tabung sentrifus, cawan Cownway,
pipet, buret, labu Erlenmeyer,
seperangkat alat destilasi, kertas saring, timbangan digital, tabung reaksi,
oven, tanur dan eksikator.
2.2.
Metode
2.2.1.
Penentuan
kecernaan bahan kering dan bahan organik
Pengukuran kecernaan
bahan kering dan bahan organik (KcBK dan KcBO) dilakukan dengan metode Tilley
dan Terry (1963). Tahapan analisis dilakukan dua tahap yaitu tahap fermentasi
dan enzimatis. Sebelumnya melakukan analisis kandungan bahan kering dan bahan
organik dari setiap ransum perlakuan. Sampel yang akan diinkubasi ditimbang
sebanyak 0,55 – 0,56 g kemudian dimasukkan ke dalam tabung fermentor. Tahap
fermentasi in vitro dilakukan dengan cara mengambil cairan rumen
sebanyak 10 ml ke dalam tabung fermentor dan ditambahkan larutan McDaugall
sebanyak 40 ml sebagai buffer
kemudian diinkubasi pada inkubator hingga 48 jam. Selama 48 jam harus dilakukan
penggojokan tabung fermentor setiap 6 jam sekali. Setelah 48 jam fermentasi in
vitro, tabung fermentor disentrifus. Campuran disentrifus pada kecepatan
3000 rpmselama 15 menit. Supernatan dibuang, kemudian ke dalam tabung
ditambahkan 50ml larutan pepsin HCl 0,2 %. Inkubasi dilanjutkan 48 jam secara anaerob
dan setiap 6 jam sekali dilakukan penggojokan. Setelah inkubasi 48 jam sisa pencernaan
disaring menggunakan kertas saring dan dibantu dengan pompa vakum. Hasil
saringan dimasukkan ke dalam cawan porselin dan dikeringkan di dalam oven 105ºC
selama 24 jam untuk mengetahui residu bahan kering. Selanjutnya sampel diabukan
dalam tanur 600ºC selama 6 jam untuk menghitung bahan organiknya. Blanko dibuat
dengan proses yang sama seperti sebelumnya tetapi tanpa menggunakan sampel
pakan percobaan.
Rumus Penentuan KcBK :
Kecernaan
Bahan Kering = x 100%
Rumus Penentuan KcBO :
Kecernaan Bahan Organik = x 100%
2.2.2.
Pengukuran
Volatile Fatty Acids (VFA)
Sampel ditimbang
sebanyak 0,55 – 0,56 g kemudian dimasukkan ke dalam tabung fermentor. Cairan
rumen sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam tabung fermentor dan ditambahkan
larutan McDaugall sebanyak 40 ml
sebagai buffer kemudian diinkubasi pada
waterbath hingga 3 jam. Hasil
inkubasi disentrifus pada kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Supernatan
diambil untuk dianalisis VFA dan NH3. Analisis VFA dilakukan dengan
teknik Destilasi Uap. Sebanyak 5 ml supernatan dimasukkan ke dalam tabung
destilasi, lalu ditambahkan 1 ml H2SO4 15 % dan tabung
segera ditutup. Proses destilasi dilakukan dengan cara menghubungkan tabung
dengan labu yang berisi air mendidih. Uap air panas akan mendesak VFA dan akan
terkondensasi di dalam pendingin. Destilat ditampung dalam labu Erlenmeyer yang
berisi 5 ml NaOH 0,5 N sehingga volumenya mencapai 250 - 300 ml. Setelah itu
ditambahkan indikator phenolptalein
sebanyak 2 tetes dan dititrasi dengan HCl 0,5 N sampai warna titrat berubah
dari merah jambu menjadi bening. Penentuan blanko dilakukan dengan cara sama
seperti analisis VFA namun tidak menggunakan supernatant dari sampel percobaan.
Konsentrasi VFA dapat dihitung dengan rumus :
Produksi VFA (mM) = (Titran
blanko – Titran sampel) x N HCl x 1000/5
2.2.3.
Pengukuran
Produksi Amonia (NH3)
Analisis
produksi ammonia (NH3) dilakukan dengan metode Mikrodifusi Conway. Bibir
cawan Conway dan tutup cawan diolesi
dengan vaselin. Supernatan hasil dari sentrifus diambil sebanyak 1 ml dan ditempatkan
pada salah satu sisi sekat cawan. Larutan Na2CO3 jenuh
sebanyak 1 ml diletakkan di sisi cawan yang lain (kedua bahan tidak boleh
bercampur sebelum tutup cawan ditutup rapat). Asam borat berindikator sebanyak
1 ml dimasukkan ke cawan kecil yang terletak di tengah cawan Conway. Cawan Conway ditutup rapat dengan tutup cawan. Cawan Conway digerakkan hingga
supernatan dan Na2CO3 tercampur rata dan dibiarkan selama
24 jam pada suhu kamar. Setelah 24 jam, tutup cawan dibuka, asam borat
berindikator dititrasi dengan H2SO4 sampai warnanya
berubah dari biru menjadi kemerah-merahan.
Konsentrasi produksi Amonia dapat
dihitung dengan rumus :
Produksi Amonia (NH3)
(mM) = ml titran x N
H2SO4
x
1000
BAB
III
HASIL
DAN PEMBAHASAN
3.1.
Kecernaan
Bahan Kering dan Bahan Organik
Tinggi rendahnya kecernaan bahan pakan memberi arti
seberapa besar bahan pakan itu mengandung zat-zat pakan dalam bentuk yang dapat dicerna
dalam saluran pencernaan.
Basri (2014) menjelaskan bahwa kecernaan adalah selisih
antara zat pakan
yang dikonsumsi dengan yang dieksresikan dalam feses dan urin serta dianggap terserap
dalam saluran cerna, sehingga kecernaan
merupakan pencerminan dari jumlah nutrisi dalam bahan pakan yang dapat
dimanfaatkan oleh ternak.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan
diperoleh data KcBK dan KcBO dari setiap perlakuan sebagai berikut:
Tabel
1. Hasil Praktikum Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik
Parameter
|
Kecernaan Bahan Kering
|
Kecernaan Bahan Organik
|
-------------------------------------%----------------------------------
|
||
T1
|
75,28
|
75,34
|
T2
|
68,36
|
70,39
|
T3
|
75,68
|
76,05
|
T4
|
72,12
|
72,71
|
T5
|
64,28
|
64,80
|
Sumber
: Data Primer Praktikum Ruminologi, 2015
Berdasarkan (Tabel
1) kecernaan bahan kering (in vitro)
secara berurutan dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah yaitu T1 (100% protein nabati), T2 (100% proein hewani),
T3 (75% protein nabati + 25% protein hewani), T5 (50% protein nabati + 50%
protein hewani) dan T4 (25% protein nabati + 75% protein hewani). T1 memberikan nilai kecernaan bahan kering pada titik 75,28% dan lebih bagus dari pada T2 yang hanya memberikan
nilai kecernaan pada titik 68,36%, kondisi tersebut menunjukan bahwa kecernaan bahan
kering dari bahan pakan sumber protein nabati lebih baik dari pada bahan pakan
sumber protein hewani. Kecernaan bahan kering tersebut menunjukan pebedaan
diindikasikan dipengaruhi oleh daya larut protein dalam bahan pakan dan kemampuan mikroba dalam rumen untuk mendegradasi protein
pakan tersebut. Fernandez et al. (2003) melaporkan bahwa kecernaan bahan
kering dipengaruhi oleh kandungan protein pakan, karena setiap sumber protein
memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda-beda terhadap mikroba yang terdapat dalam rumen. Kondisi tersebut juga berlaku pada T3 yang menunjukan
angka kecernaan bahan kering pada titik 75,68% dan lebih bagus dari pada T5 dan T4 yang secara
berurutan menunjukan angka kecernaan bahan kering pada titik 72,12% dan 64,28%. Perbedaan tersebut selain dipengaruhi oleh daya atau
kemampuan mikroba rumen dalam mendegradasi protein juga dipengaruhi oleh faktor
perbandingan komposisi yang dirancang pada ransum.
McDonald et al.
(2002) melaporkan bahwa yangmempengaruhi kecernaan bahan kering antara lain komposisi bahan pakan,
perbandingan komposisi antara bahan pakan satu dengan bahan pakan lainnya,
perlakuan pakan, suplementasi enzim dalam pakan, ternak dan taraf pemberian
pakan.
Hasil dari kecernaan bahan organik pada perlakuan
T1, T2, T3. T4 dan T5 secara berurutan adalah 75,56% ; 69,27% ; 75,99% ; 72,40%
dan 63,90 %. Secara keseluruhan kecernaan bahan organik lebih besar
dibandingkan dengan kecernaan bahan kering. Hal ini disebabkan susunan dari
bahan organik sudah tidak mengandung mineral yang sulit untuk dicerna. Tanuwiria
et al. (2011) bahwa kecernaan bahan organik lebih besar daripada kecernaan
bahan kering karena komponen bahan organik lebih mudah dicerna dibandingkan dengan
bahan kering yang mengandung residu komponen mineral yang tidak larut sehingga
keberadaannya mengurangi kecernaan bahan kering. Liukae (2007) menambahkan
bahwa penurunan kecernaan bahan kering akan mengakibatkan kecernaan bahan
organik menurun atau sebaliknya.
3.2.
Produksi
VFA dan NH3
Produksi
VFA dan NH3 di dalam evaluasi nutrisi pakan secara in vitro mengindikasikan nilai fermentabilitas
suatu bahan pakan. VFA dan NH3 yang terbentuk merupakan hasil
fermentasi sumber nutrien dalam pakan, semakin tinggi produksi VFA dan NH3nya
semakin tinggi fermentabililitas bahan pakan tersebut.
Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan
diperoleh data produksiVFA dan NH3 dari setiap perlakuan sebagai
berikut:
Tabel
2. Hasil Praktikum Produksi VFA dan NH3
Parameter
|
Produksi VFA
|
Produksi NH3
|
-----------mM-----------
|
||
T1
|
135
|
2,83
|
T2
|
65
|
2,45
|
T3
|
145
|
2,42
|
T4
|
85
|
2,86
|
T5
|
50
|
2,64
|
Sumber: Data Primer
Praktikum Ruminologi, 2015.
Berdasarkan praktikum yang telah
dilaksanakan didapatkan hasil produksi VFA sebagai berikut T1 : 135 mM ; T2 :
65 mM; T3 : 145 mM; T4 : 85 mM dan T5 : 50 mM. Hasil produksi VFA T1, T3 dan T4
termasuk optimum namun hasil T2 dan T5 sangat rendah dibandingkan dengan
pendapat Sutardi et al. (1993) dalam
Indriani et al. (2013) yang
menyatakan bahwa konsentrasi VFA optimum yang dibutuhkan untuk mendukung
pertumbuhan mikroba adalah 80 – 160 mM. Produksi VFA yang optimum
mengindikasikan bahwa efisiensi proses fermentasi pakan dalam rumen baik. Tinggi
rendahnya produksi VFA dapat juga untuk mengetahui kemampuam mikroba dalam
memfermentasi pakan dalam rumen. Indriani et
al. (2013) menyatakan bahwa jumlah VFA menunjukkan mudah atau tidaknya
pakan tersebut difermentasi oleh mikroba rumen. Suherman et al. (2013) menyatakan bahwa kandungan VFA didalam cairan rumen
dapat digunakan sebagai tolok ukur efisiensi pakan di dalam rumen.
Hasil analisis produksi NH3 secara in vitro pada Perlakuan T1, T2, T3, T4
dan T5 secara berurutan adalah 2,83 mM ; 2,45mM; 2,42 mM ; 2,86 mM dan 2,64 mM.
Hasil tersebut menunjukkan produk NH3 pada setiap perlakuan < 4
mM atau kurang dari batas minimum kadarNH3 yang dibutuhkan oleh
mikrobia rumen. Tanuwiria et al. (2011)
melaporkan bahwa kadar ammonia optimum dalam rumen adalah 3,57 mM. Hasil
produksi NH3 yang rendah disebabkan karena tingginya kandungan
protein dalam pakan perlakuan yang lolos degradasi (protein by pass). Indriani et al. (2013) melaporkan bahwa jika pakan memiliki tinggi kandungan
protein yang lolos dalam rumen maka konsentrasi NH3 rumen akan
rendah.
BAB
IV
SIMPULAN
DAN SARAN
4.1.
Simpulan
Penggunaan komposisi bahan pakan sumber
protein yang berbeda mempengaruhi kecernaan bahan kering, kecernaan bahan
organik, produksi VFA dan NH3 yang berbeda.Hasil terbaik dari kecernaan bahan kering
dan bahan organik adalah pada perlakuan T3 dengan penggunaan sumber protein 75%
Bungkil Kedelai dan 25% Tepung Ikan.
4.2.
Saran
Sampel
yang akan dianalisis sebaiknya ditepungkan menjadi partikel kecil agar proses fermentasi
pada sampel terjadi sama dengan kondisi dalam rumen sebenarnya.Fasilitas yang
digunakan untuk melakukan praktikum terutama peralatan untuk analisis VFA
kurang mendukung.Sehingga pengujian sering diulang karena kesalahan.Sentrifus
yang tersedia juga sedikit sehingga untuk melakukan sentrifus pada tabung
fermentor harus bergiliran dan membutuhkan waktu yang lama.Sebaiknya fasilitas
peralatan laboratorium diperbaruhui dan diperbanyak agar pelaksanan analisis
berjalan dengan lancar.
DAFTAR PUSTAKA
Basri. 2014. Kecernaan
Bahan Kering dan
Bahan Organik Ransum Komplit dengan Kandungan
Protein Berbeda pada
Kambing Marica Jantan. Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin, Makasar. (Skripsi).
Fernandez, C.,
P. Sanchez-Seiquer and A. Sanchez. 2003. Use of total mixed ration with three
sources of protein as an alternative feeding for dairy goats on Southeast of
Spain. Pakistan J. Nut. 2 (9) :18-24.
Indriani,
N., T. R. Sutardi dan Suparwi. 2013. Fermentasi limbah Soun dengan menggunakan Aspergillus nigerditinjau dari kadar Volatile Fatty Acid (VFA) total dan
Amonia (NH3) secara in vitro.
J. Ilmiah Peternakan. 1(3): 804-812.
Liukae,
D. S. 2007. Pengaruh Level Rumput Kumpai Tembanga (Hymenachneacutiguma) sebagai Bahan Pengawet Kualitas Silase.
Fakultas Peternakan. Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Skripsi).
McDonald, P., R.
Edwards, J. Greenhalgh and C. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 6th Edition. Longman
Scientific and
Technical, New York.
Pujiati, A.
2010. Pengaruh Menir Kedelai, Tepung Ikan dan Bungkil Kelapa Sawit Terproteksi
terhadap Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik dan Protein Kasar Ransum Sapi PO
Berfistula. Fakultas Peternakan dan Pertanian. Universitas Sebelas Maret.
Surakarta. (Skripsi)
Putra, D.T.B.
2011. Pengaruh Suplementasi Daun Waru (Hibiscus
tilaceus L.) terhadap Karakteristik Fermentasi dan Populasi Protozoa Rumen
secara In Vitro. Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. (Skripsi).
Suherman, K., Suparwi
dan Widyastuti. 2013. Konsntrasi VFA total dan amonia pada onggok yang
difermentasi dengan Aspergilus niger
secara in vitro. J.l Ilmiah
Peternakan 1 (3) : 827-834.
Tanuwiria, U.
H., D. C. Budinuryanto, S. Darodjah dan W. S. Putranto. 2011. Studi pembuatan
kompleks mineral-minyal dan efek penggunaan dalam ransum terhadap
fermentabilitas dan kecernaan (in vitro).
J. Ilmu Ternak 10 (1) : 32 – 38
Yulistiani, D.
2012. Tanaman Murbei sebagai sumber protein hijauan pakan domba dan kambing. J.
Wartazoa. 22(1) 46-52.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar